1. Pondok Pesantren Langitan
Pondok Pesantren Langitan adalah salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Berdirinya lembaga ini jauh sebelum Indonesia merdeka yaitu tepatnya pada tahun 1852, di Dusun Mandungan, Desa Widang, Kecamatan Widang, Tuban, Jawa Timur. Komplek Pondok Pesantren Langitan terletak di samping bengawan Solo dan berada di atas areal tanah seluas kurang lebih 7 hektar.
http://langitan.net/
2. Pondok Pesantren GONTOR
Pondok Gontor didirikan pada 10 April 1926 di Ponorogo, Jawa Timur oleh tiga bersaudara putra Kiai Santoso Anom Besari. Tiga bersaudara ini adalah KH Ahmad Sahal, KH Zainudin Fananie, dan KH Imam Imam Zarkasy dan yang kemudian dikenal dengan istilah Trimurti.Pada awalnya Pondok Gontor hanya memiliki Tarbiyatul Atfhfal (setingkat taman kanak-kanak) lalu meningkat dengan didirikannya Kulliyatul Mu'alimin Al-Islamiah (KMI) yang setara dengan lulusan sekolah menengah. Pada tahun 1963 Pondok Gontor mendirikan Institut Studi Islam Darussalam (ISID).
http://gontor.ac.id/
3. Pondok Pesantren Daar El-Qolam
Pondok Pesantren Daar el-Qolam (معهد دار القلم للتربية الإسلامية) adalah sebuah pondok pesantren berlokasi di Desa Pasir Gintung, Kecamatan Jayanti, Kabupaten Tangerang, Propinsi Banten yang didirikan pada tanggal 20 Januari 1968. Pesantren ini adalah gagasan Haji Qasad Mansyur yang direalisasikan oleh Drs. K.H. Ahmad Rifai Arief (1942-1997). Setelah K.H. Ahmad Rifa'i Arief meninggal dunia pada tanggal 15 Juni 1997, pondok ini dilanjutkan oleh K.H. Drs. Ahmad Syahiduddin, K.H. Adrian Mafatihullah Karim dan Hj. Enah Huwaenah. Hingga Maret 2009, Pondok Pesantren Daar el-Qolam merupakan pondok pesantren terbesar sedaerah Banten, dengan jumlah santri 4298 jiwa.
http://www.daarelqolam.ac.id/mp/welcome.aspx
4. Pondok Pesantren DARUNNAJAH
Pada tahun 1942 K.H. Abdul Manaf Mukhayyar mempunyai sekolah Madrasah Al-Islamiyah di Petunduhan Palmerah. Tahun 1959 tanah dan madrasah tersebut digusur untuk perluasan komplek Perkampungan Olah Raga Sea Games, yang sekarang dikenal dengan komplek Olah Raga Senayan. Untuk melanjutkan cita-citanya, maka diusahakanlah tanah di Ulujami.
Tahun 1960, didirikan Yayasan Kesejahteraan Masyarakat Islam (YKMI), dengan tujuan agar di atas tanah tersebut didirikan pesantren. Periode inilah yang disebut dengan periode cikal bakal, sebagai modal pertama berdirinya Pondok Pesantren Darunnajah.
http://darunnajah.com/
5. Pondok Pesantren Tebuireng
Pondok Pesantren Tebuireng adalah salah satu pesantren terbesar di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Pesantren ini didirikan oleh KH. Hasyim Asy'arie pada tahun 1899. Selain materi pelajaran mengenai pengetahuan agama Islam, ilmu syari’at, dan bahasa Arab, pelajaran umum juga dimasukkan ke dalam struktur kurikulum pengajarannya. Pesantren Tebuireng telah banyak memberikan konstribusi dan sumbangan kepada masyarakat luas baik, terutama dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia.
http://www.tebuireng.net/
6. Pondok Pesantren Al Ihya Ulumaddin
pada 24 Nopember 1925 didirikan pondok pesantren di Desa Kesugihan, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap, yang kemudian dikenal dengan nama pondok pesantren Kesugihan. Kepemimpinan ponpes ini kemudian dilanjutkan oleh KH Ahmad Mustholih dan KH Chasbulloh Badawi, putra pendiri.
7.Ponpes Asy Sapi’iah Nahdatul Wathon
Maulana al-Syaikh Tuan Guru Kyai Hajji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid
[IMG]http://upload.wikimedia.org/wikipedi...Hamzanwadi.jpg[/IMG]
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid belajar di Tanah Suci Mekah selama 13 tahun kemudian kembali ke Indonesia atas perintah dari guru beliau yang paling di kagumi, yakni Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath, pada tahun 1934. Setiba di Pulau Lombok beliau mendirikan Sekembali dari Tanah Suci Mekah ke Indonesia mula-mula beliau mendirikan pesantren al-Mujahidin pada tahun 1934 M. kemudian pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H/22 Agustus 1937 M. beliau mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI). Madrasah ini khusus untuk mendidik kaum pria. Kemudian pada tanggal 15 Rabiul Akhir 1362 H/21 April 1943 M. beliau mendirikan madrasah Nahdlatul Banat Diniah Islamiyah (NBDI) khusus untuk kaum wanita. Kedua madrasah ini merupakan madrasah pertama di Pulau Lombok yang terus berkembang dan merupakan cikal bakal dari semua madrasah yang bernaung di bawah organisasi Nahdlatul Wathan. Dan secara khusus nama madrasah tersebut diabadikan menjadi nama pondok pesantren 'Dar al-Nahdlatain Nahdlatul Wathan'. Istilah 'Nahdlatain' diambil dari kedua madrasah tersebut. Beliau aktif berdakwah keliling desa di Pulau Lombok dan mengajar.
http://www.nahdlatulwathan.org/
7. Pondok Pesantren Al Mu'min
pondok Pesantren Al Mu'min adalah sebuah pesantren di Ngruki, Solo yang didirikan oleh "enam serangkai": Abdullah Sungkar, Abu Bakar Ba'asyir, Yoyok Rosywadi, Abdullah Baradja, Abdul Qohar H. Daeng Matase, dan Hasan Basri.
Pondok ini berdiri sejak tahun 1974 di lokasinya hingga sekarang, di selatan terminal angkutan dalam kota Surakarta, Terminal Tipes, namun berada di wilayah administrasi Desa Cemani, Grogol, Sukoharjo. Setahun sebelumnya ia merupakan sebuah kelompok pengajian kekeluargaan (usrah). Unit dakwah awalnya adalah sebuah siaran radio non-komersial.
8. Pondok Pesantren Al Khairaat
[IMG]http://2.bp.blogspot.com/_zFLHqtPPDD...Untitled-1.jpg[/IMG]
habib idrus bin salim aljufri
guru besar alalamah sayid idrus bin salim aljufri pendiri sebuah yayasan lembaga pendidikan islam alkahirat, beliau di lahirkan di taris, hadramaut pada14 sya'ban 1309 H bertepatan dengan 15 maret 1881 M, ulama hadramaut yang berhijrah ke indonesia dan menetap di palu (sulawesi tengah). yayasan alkahiraat, yang kini telah memiliki cabang lebih dari 1800 madrasah dan sekolah, terdiri dari TK, SD, SMP, SMA, SMK, MI, MTS, MA, hingga Universitas.
9.Pondok pesantren Putri Al Kenaniyah
Pondok pesantren ini diresmikan pada tanggal 4 Sya’ban 1414 H/ 16 Januari 1944 M, oleh para Alim Ulama, diantaranya adalah mantan presiden RI ke 4 Bapak KH. Abdurrahman Wahid, KH. Syamsuri Badawi dan KH. Zayadi Muhajir serta beberapa tokoh masyarakat disekitar Kecamatan Pulo Gadung Jakarta Timur.
10. Pondok Pesantren La Tansa
Pondok Pesantren La Tansa adalah sebuah pondok pesantren modern yang terletak di daerah Parakansantri, Cipanas, Lebak, Banten. Pesantren ini didirikan oleh Drs. K.H. Ahmad Rifa'i Arief (Almarhum) yang bertindak juga sebagai pemimpin pesantren Daar el-Qolam (Pasir Gintung, Jayanti, Tangerang) saat itu. Kini, setelah pendiri wafat, Pesantren La Tansa dipimpin oleh K.H. Adrian Mafatihullah Karim, MA dan K.H. Sholeh, S.Ag, MM. Lembaga ini bernaung di bawah Yayasan La Tansa Mashiro, yang juga didirikan oleh Drs K.H. Ahmad Rifa'i Arief.
Sabtu, 29 Oktober 2011
Tujuan Pendidikan Pondok Pesantren
Tujuan pendidikan pondok pesantren pada mulanya tidak dirumuskansecara jelas. Hal ini karena dapat dimaklumi, bahwa pondok pesantren sejakawal berdirinya tidak membutuhkan legalitas secara formal. Dalam bentukyang sangat sederhana tujuan itu dapat dirumuskan secara garis besar bahwapondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang berorientasiuntuk mendidik para santrinya agar tafaqqauh fiddin (memegang teguh ajaranIslam).Di sisi lain tujuan pendidikan pondok pesantren secara spesifik adalahdisesuaikan dan diselaraskan dengan penguasaan para pemegang pondokpesantren tersebut dalam suatu fak ilmu tertentu. Dengan demikian akanmuncul pondok pesantren yang lebih menfokuskan kepada satu fak ilmu saja,seperti ilmu Al-Qur'an (menghafalkan Al-Qur'an), maka pesantrennyaterkenal dengan sebutan pesantren Al-Qur'an Tapi secara garis besar tujuan pendidikan pondok pesantren dapatdibagi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan tersebut dapat kitaasumsikan sebagai berikut:a. Tujuan UmumMembentuk mubaligh-mubaligh Indonesia berjiwa Islam yangPancasialis yang bertakwa, yang mampu baik rohaniyah maupunjasmaniah mengamalkan ajaran agama Islam bagi kepentingankebahagiaan hidup diri sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa sertanegara Indonesia.b. Tujuan Khusus1) Membina Suasana Hidup Keagamaan Dalam Pondok PesantrenSebaik Mungkin Sehingga Berkesan Pada Jiwa Anak Didiknya(Santri).2) Memberikan Pengertian Keagamaan Melalui Pengajaran Ilmu AgamaIslam.3) Mengembangkan Sikap Beragama Melalui Praktek-Praktek Ibadah.4) Mewujudkan Ukhuwah Islamiyah Dalam Pondok Pesantren DanSekitarnya.5) Memberikan Pendidikan Keterampilan, Civic Dan Kesehatan, OlahRaga Kepada Anak Didik.6) Mengusahakan Terwujudnya Segala Fasilitas Dalam PondokPesantren Yang Memungkinkan Pencapaian Tujuan Umum Tersebut
Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2203167-tujuan-pendidikan-pondok-pesantren/#ixzz1cApGFmN0
Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2203167-tujuan-pendidikan-pondok-pesantren/#ixzz1cApGFmN0
PESANTREN DALAM MENGGAPAI “TANTANGAN” GLOBALISASI
Loyalitas yang tinggi terhadap seorang ustadz atau ustadzah itulah salah satu ciri yang mengakar kuat dalam nuansa Pondok Pesantren. Acap kali, orang yang melihat akan terheran ketika seorang kyai menyuruh santri mengerjakan sesuatu. Tanpa berfikir panjang para santri yang mendapat dawuh atau perintah tersebut, akan mengerjakan tugas yang diamanahkan. Santri terfikir sama sekali tentang imbalan. Keberkahan adalah yang sangat mereka harapkan. Ketika teguran datang dari seorang ustadz maka satu suku kata pun tidak terucap dari mulut para santri. Mereka menyadari dan merenung kesalahan yang dia perbuat. Para santri mencoba untuk mengevaluasi kesalahan-kesalahan yang mereka perbuat. Hal ini bukan semata-semata absolutisme seorang ustadz atau kyai, tapi pendidikan yang yang mengajarkan betapa pentingnya tanggung jawab dan keberanian menghadapi resiko dari suatu perbuatan yang ditanamkan kepada para santrinya.
Kehidupan pesantren mengajarkan para santri untuk bertahan dalam menghadapi tantangan dalam kehidupan. Kehidupan santri utamanya di pesantren salafi1 mengajarkan santri untuk hidup mandiri. Tidak sedikit dari para santri yang harus hidup diantara “kekurangan”. Kondisi inilah yang menjadi mereka banyak tirakatnya. Dan tirakat itulah yang dijadikan sebagai senjata andalan bagi perasaan mereka ketika dilanda kekeringan kantong. Tanpa mengeluh sedikitpun. Meski demikian semangat untuk mencari ilmu tidak berkurang sama sekali. Mereka sangat percaya dengan apa yang dituturkan dalam kitab ta’limul muta’alim. Banyak berfoya-foya dalam menuntut ilmu hanya akan membuat ilmu tidak barokah dan otak tidak bisa berfikir. Mereka tetap bersabar dalam menuntut ilmu dalam kondisi apapun. Meski bangun dikala orang terlelap tidak menjadi beban sedikitpun. Meski mereka harus menahan kelopak mata agar tetap terbuka disaat kantuk menghantui, tidak membuat semangatnya redup. Berbekal sebuah kitab kuning yang bertuliskan arab tanpa harokat dan bolpion buntut mengais ilmu yang Alloh berikan lewat ulama-ulama terdahulu. Sebuah pemandangan yang indah dikala kita menyaksikan saat itu.
Membicarakan pesantren tidak lepas dari kehidupan madrasah. Satu hal yang agaknya tertinggal dari kehidupan mereka. Kemajuan teknologi tampaknya masih belum diperhatikan oleh mereka. Meskipun banyak pesantren yang sudah memiliki instansi pendidikan formal, tetapi sentuhan akan teknologi masih belum terasa. Banyak madrasah yang berdiri dibawah pesantren kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Kesannya masih masih dianaktirikan. Padahal kapasitasnya belum tentu dibawah sekolah-sekolah umum apabila mendapat fasilitas yang memadai. Kurikulum yang diajarkan dipesantren pun lebih beragam. Pendidikan agama mendapat jam-jam yang khusus tidak satu jam seperti sekolah pada umumnya. Akan tetapi mata pelajaran yang menjadi bahan ujian nasional juga tetap menjadi prioritas. Sampai saat ini memang madrasah belum mampu bersaing dengan sekolah lain dalam hal akademiknya maupun teknologinya. Hal ini berimbas pada kemampuan lulusannya. Kehidupan pesantren yang jauh dari kemajuan teknologi memang layak menjadi perhatian. Sederan prestasi yang dicapai pesantren mungkin hanya bergaung dalam lingkup para santri. Ironis memang, jika pesanteren tempat menuntut ilmu para santri yang notabandnya juga sebagai generasi penerus bangsa tidak menjadi perhatian sama sekali.
Di tengah kenidupan yang penuh pernik-pernik kemajuan teknologi masih banyak pesantren yang “gagap teknologi”. Wajar jika ada sebagian santri yang dikatakan susah membedakan antara eternit dan internet. Jika pendidikan umum menjadi perhatian yang serius bagi masyarakat, mengapa pesantren tidak? Pesantren dimata public hanya dijadikan sebagai sarana mencetak para dai atau pemuka agama dalam masyarakat. Lulusan dari pesantren hanya diprediksi berkutik di dua hal itu. Dan itulah yang terjadi di sebagian besar pesantren utamanya daerah didaerah pedesaan. Padahal pesantren atau madrasah sudah dapat menyeimbangkan antara pendidikan agama dan umum dilihat dari system kurikulumnya. Banyak langkah yang bisa ditempuh oleh pemerintah maupun pihak madrasah untuk mengembangkan pendidikan dimadrasah maupun pesantren.
Kamis, 27 Oktober 2011
Aktivitas santri
Dalam era globalisasi hampir semua sendi kehidupan umat manusia mengalami perubahan yang amat dahsyat. lnstitusi sosial kemasyarakatan, kenegaraan, keluarga bahkan institusi keagamaan tidak luput dari pengaruh arus deras globalisasi. Akibatnya tidak sedikit terjadi penjomplangan nilai-nilai di segala bidang kehidupan. Apa reaksi santri dan pesantren menghadapi hal ini?. Menutup diri? Tentu saja tidak.
Santri adalah bagian dari masyarakat yang telah menanamkan harapan besar kepadanya. Agar disaat pulang nanti santri mampu mengentaskan mereka dari penderitaan yang menggerogoti jiwa dan tubuhnya. Mampu membimbing dan mengarahkan mereka menuju hidup dalam kemapanan. Melihat tugas dan tantangan yang begitu besar, maka tak ada lagi solusi, selain menjadikan santri sebagai figur manusia yang kuat jiwanya, tidak mudah terguncang oleh gelombang ganas kehidupan, juga cerdas dan luas wawasannya agar bisa memecahkan segala masalah yang menimpa dirinya dan masyarakat sekitarnya. Selain itu juga tanggap dan terampil.
Untuk membentuk figur santri seperti ini, maka dituntut adanya program yang betul- betul terarah. Konstruksi bangunan aktifitas santri semuanya harus mengarah kepada tujuan ili. Disinilah arti penting aktivitas santri dan sistem bangunannya, karena hal inilah yang akan membentuk kepribadian dan prilaku santri ketika ia kembali ke tengah – tengah masyarakat.
al-Hamdulillah, hal ini sudah menjadi perhatian di PP. Langitan. Setidaknya berbagai aitifitas santri Langitan sudah menuju ke arah sana, meskipun masih belum mencapai kesempurnaan.
10 Pondok Pesantren Terbaik di Indonesia
1. Pondok Pesantren Langitan (Syafi’iyah, Asy ‘ariyah)
Pondok Pesantren Langitan adalah salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Berdirinya lembaga ini jauh sebelum Indonesia merdeka yaitu tepatnya pada tahun 1852, di Dusun Mandungan, Desa Widang, Kecamatan Widang, Tuban, Jawa Timur. Komplek Pondok Pesantren Langitan terletak di samping bengawan Solo dan berada di atas areal tanah seluas kurang lebih 7 hektar.
http://langitan.net/
2. Pondok Pesantren GONTOR (non madzab)
Pondok Gontor didirikan pada 10 April 1926 di Ponorogo, Jawa Timur oleh tiga bersaudara putra Kiai Santoso Anom Besari. Tiga bersaudara ini adalah KH Ahmad Sahal, KH Zainudin Fananie, dan KH Imam Imam Zarkasy dan yang kemudian dikenal dengan istilah Trimurti.Pada awalnya Pondok Gontor hanya memiliki Tarbiyatul Atfhfal (setingkat taman kanak-kanak) lalu meningkat dengan didirikannya Kulliyatul Mu’alimin Al-Islamiah (KMI) yang setara dengan lulusan sekolah menengah. Pada tahun 1963 Pondok Gontor mendirikan Institut Studi Islam Darussalam (ISID).
http://gontor.ac.id/
3. Pondok Pesantren Daar El-Qolam (non madzab)
Pondok Pesantren Daar el-Qolam (معهد دار القلم للتربية الإسلامية) adalah sebuah pondok pesantren berlokasi di Desa Pasir Gintung, Kecamatan Jayanti, Kabupaten Tangerang, Propinsi Banten yang didirikan pada tanggal 20 Januari 1968. Pesantren ini adalah gagasan Haji Qasad Mansyur yang direalisasikan oleh Drs. K.H. Ahmad Rifai Arief (1942-1997). Setelah K.H. Ahmad Rifa’i Arief meninggal dunia pada tanggal 15 Juni 1997, pondok ini dilanjutkan oleh K.H. Drs. Ahmad Syahiduddin, K.H. Adrian Mafatihullah Karim dan Hj. Enah Huwaenah. Hingga Maret 2009, Pondok Pesantren Daar el-Qolam merupakan pondok pesantren terbesar sedaerah Banten, dengan jumlah santri 4298 jiwa.
http://www.daarelqolam.ac.id/mp/welcome.aspx
4. Pondok Pesantren DARUNNAJAH (non madzab)
Pada tahun 1942 K.H. Abdul Manaf Mukhayyar mempunyai sekolah Madrasah Al-Islamiyah di Petunduhan Palmerah. Tahun 1959 tanah dan madrasah tersebut digusur untuk perluasan komplek Perkampungan Olah Raga Sea Games, yang sekarang dikenal dengan komplek Olah Raga Senayan. Untuk melanjutkan cita-citanya, maka diusahakanlah tanah di Ulujami.
Tahun 1960, didirikan Yayasan Kesejahteraan Masyarakat Islam (YKMI), dengan tujuan agar di atas tanah tersebut didirikan pesantren. Periode inilah yang disebut dengan periode cikal bakal, sebagai modal pertama berdirinya Pondok Pesantren Darunnajah.
http://darunnajah.com/
5. Pondok Pesantren Tebuireng (Syafi’iyah, Asy ‘ariyah)
Pondok Pesantren Tebuireng adalah salah satu pesantren terbesar di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Pesantren ini didirikan oleh KH. Hasyim Asy’arie pada tahun 1899. Selain materi pelajaran mengenai pengetahuan agama Islam, ilmu syari’at, dan bahasa Arab, pelajaran umum juga dimasukkan ke dalam struktur kurikulum pengajarannya. Pesantren Tebuireng telah banyak memberikan konstribusi dan sumbangan kepada masyarakat luas baik, terutama dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia.
http://www.tebuireng.net/
6. Pondok Pesantren Al Ihya Ulumuddin (Syafi’iyah, Asy ‘ariyah)
pada 24 Nopember 1925 didirikan pondok pesantren di Desa Kesugihan, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap, yang kemudian dikenal dengan nama pondok pesantren Kesugihan. Kepemimpinan ponpes ini kemudian dilanjutkan oleh KH Ahmad Mustholih dan KH Chasbulloh Badawi, putra pendiri.
7.Ponpes Asy Syafi’iah Nahdatul Wathon (Syafi’iyah, Asy ‘ariyah)
Maulana al-Syaikh Tuan Guru Kyai Hajji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid belajar di Tanah Suci Mekah selama 13 tahun kemudian kembali ke Indonesia atas perintah dari guru beliau yang paling di kagumi, yakni Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath, pada tahun 1934. Setiba di Pulau Lombok beliau mendirikan Sekembali dari Tanah Suci Mekah ke Indonesia mula-mula beliau mendirikan pesantren al-Mujahidin pada tahun 1934 M. kemudian pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H/22 Agustus 1937 M. beliau mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI). Madrasah ini khusus untuk mendidik kaum pria. Kemudian pada tanggal 15 Rabiul Akhir 1362 H/21 April 1943 M. beliau mendirikan madrasah Nahdlatul Banat Diniah Islamiyah (NBDI) khusus untuk kaum wanita. Kedua madrasah ini merupakan madrasah pertama di Pulau Lombok yang terus berkembang dan merupakan cikal bakal dari semua madrasah yang bernaung di bawah organisasi Nahdlatul Wathan. Dan secara khusus nama madrasah tersebut diabadikan menjadi nama pondok pesantren ‘Dar al-Nahdlatain Nahdlatul Wathan’. Istilah ‘Nahdlatain’ diambil dari kedua madrasah tersebut. Beliau aktif berdakwah keliling desa di Pulau Lombok dan mengajar.
http://www.nahdlatulwathan.org/
7. Pondok Pesantren Al Mu’min (wahabiyah)
pondok Pesantren Al Mu’min adalah sebuah pesantren di Ngruki, Solo yang didirikan oleh “enam serangkai”: Abdullah Sungkar, Abu Bakar Ba’asyir, Yoyok Rosywadi, Abdullah Baradja, Abdul Qohar H. Daeng Matase, dan Hasan Basri.
Pondok ini berdiri sejak tahun 1974 di lokasinya hingga sekarang, di selatan terminal angkutan dalam kota Surakarta, Terminal Tipes, namun berada di wilayah administrasi Desa Cemani, Grogol, Sukoharjo. Setahun sebelumnya ia merupakan sebuah kelompok pengajian kekeluargaan (usrah). Unit dakwah awalnya adalah sebuah siaran radio non-komersial.
Pondok ini berdiri sejak tahun 1974 di lokasinya hingga sekarang, di selatan terminal angkutan dalam kota Surakarta, Terminal Tipes, namun berada di wilayah administrasi Desa Cemani, Grogol, Sukoharjo. Setahun sebelumnya ia merupakan sebuah kelompok pengajian kekeluargaan (usrah). Unit dakwah awalnya adalah sebuah siaran radio non-komersial.
8. Pondok Pesantren Al Khairaat (Syafi’iyah, Asy ‘ariyah)
guru besar alalamah sayid idrus bin salim aljufri pendiri sebuah yayasan lembaga pendidikan islam alkahirat, beliau di lahirkan di taris, hadramaut pada14 sya’ban 1309 H bertepatan dengan 15 maret 1881 M, ulama hadramaut yang berhijrah ke indonesia dan menetap di palu (sulawesi tengah). yayasan alkahiraat, yang kini telah memiliki cabang lebih dari 1800 madrasah dan sekolah, terdiri dari TK, SD, SMP, SMA, SMK, MI, MTS, MA, hingga Universitas.
9.Pondok pesantren Putri Al Kenaniyah (Syafi’iyah, Asy ‘ariyah)
Pondok pesantren ini diresmikan pada tanggal 4 Sya’ban 1414 H/ 16 Januari 1944 M, oleh para Alim Ulama, diantaranya adalah mantan presiden RI ke 4 Bapak KH. Abdurrahman Wahid, KH. Syamsuri Badawi dan KH. Zayadi Muhajir serta beberapa tokoh masyarakat disekitar Kecamatan Pulo Gadung Jakarta Timur.
10. Pondok Pesantren La Tansa (non madzab)
Pondok Pesantren La Tansa adalah sebuah pondok pesantren modern yang terletak di daerah Parakansantri, Cipanas, Lebak, Banten. Pesantren ini didirikan oleh Drs. K.H. Ahmad Rifa’i Arief (Almarhum) yang bertindak juga sebagai pemimpin pesantren Daar el-Qolam (Pasir Gintung, Jayanti, Tangerang) saat itu. Kini, setelah pendiri wafat, Pesantren La Tansa dipimpin oleh K.H. Adrian Mafatihullah Karim, MA dan K.H. Sholeh, S.Ag, MM. Lembaga ini bernaung di bawah Yayasan La Tansa Mashiro, yang juga didirikan oleh Drs K.H. Ahmad Rifa’i Arief.
.
Sabtu, 22 Oktober 2011
Pondok Pesantren: sejarah dan Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia
PENDAHULUAN
Suatu hal yang tidak terlepas dalam wacana pendidikan di Indonesia adalah Pondok Pesantren. Ia adalah model sistem pendidikan pertama dan tertua di Indonesia. Keberadaannya mengilhami model dan sistem-sistem yang ditemukan saat ini. Ia bahkan tidak lapuk dimakan zaman dengan segala perubahannya. Karenanya banyak pakar, baik lokal maupun internasional melirik Pondok Pesantren sebagai bahan kajian. Tidak jarang beberapa tesis dan disertasi menulis tentang lembaga pendidikan Islam tertua ini.
Di antara sisi yang menarik para pakar dalam mengkaji lembaga ini adalah karena “modelnya”. Sifat keislaman dan keindonesiaan yang terintegrasi dalam pesantren menjadi daya tariknya. Belum lagi kesederhanaan, sistem dan manhaj yang terkesan apa adanya, hubungan kyai dan santri serta keadaan fisik yang serba sederhana. Walau di tengah suasana yang demikian, yang menjadi magnet terbesar adalah peran dan kiprahnya bagi masyarakat, negara dan umat manusia yang tidak bisa dianggap sepele atau dilihat sebelah mata. Sejarah membuktikan besarnya konstribusi yang pernah dipersembahkan lembaga yang satu ini, baik di masa pra kolonial, kolonial dan pasca kolonial, bahkan di masa kini pun peran itu masih tetap dirasakan.
Di tengah gagalnya sebagian sistem pendidikan dewasa ini, ada baiknya kita menyimak kembali sistem pendidikan pesantren. Keintegrasian antara ilmu etika dan pengetahuan yang pernah dicanangkan pesantren perlu mendapat perhatian, sehingga -paling tidak- mengurangi apa yang menjadi trendi di tengah-tengah pelajar dan pemuda kita: TAWURAN.
Pondok pesantren Dahulu
Dalam catatan sejarah, Pondok Pesantren dikenal di Indonesia sejak zaman Walisongo. Ketika itu Sunan Ampel mendirikan sebuah padepokan di Ampel Surabaya dan menjadikannya pusat pendidikan di Jawa. Para santri yang berasal dari pulau Jawa datang untuk menuntut ilmu agama. Bahkan di antara para santri ada yang berasal dari Gowa dan Talo, Sulawesi.
Pesantren Ampel merupakan cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren di Tanah Air. Sebab para santri setelah menyelesaikan studinya merasa berkewajiban mengamalkan ilmunya di daerahnya masing-masing. Maka didirikanlah pondok-pondok pesantren dengan mengikuti pada apa yang mereka dapatkan di Pesantren Ampel.
Kesederhanaan pesantren dahulu sangat terlihat, baik segi fisik bangunan, metode, bahan kajian dan perangkat belajar lainnya. Hal itu dilatarbelakangi kondisi masyarakat dan ekonomi yang ada pada waktu itu. Yang menjadi ciri khas dari lembaga ini adalah rasa keikhlasan yang dimiliki para santri dan sang Kyai. Hubungan mereka tidak hanya sekedar sebagai murid dan guru, tapi lebih seperti anak dan orang tua. Tidak heran bila santri merasa kerasan tinggal di pesantren walau dengan segala kesederhanaannya. Bentuk keikhlasan itu terlihat dengan tidak dipungutnya sejumlah bayaran tertentu dari para santri, mereka bersama-sama bertani atau berdagang dan hasilnya dipergunakan untuk kebutuhan hidup mereka dan pembiayaan fisik lembaga, seperti lampu, bangku belajar, tinta, tikar dan lain sebagainya.
Materi yang dikaji adalah ilmu-ilmu agama, seperti fiqih, nahwu, tafsir, tauhid, hadist dan lain-lain. Biasanya mereka mempergunakan rujukan kitab turost atau yang dikenal dengan kitab kuning. Di antara kajian yang ada, materi nahwu dan fiqih mendapat porsi mayoritas. Ha litu karena mereka memandang bahwa ilmu nahwu adalah ilmu kunci. Seseorang tidak dapat membaca kitab kuning bila belum menguasai nahwu. Sedangkan materi fiqih karena dipandang sebagai ilmu yang banyak berhubungan dengan kebutuhan masyarakat (sosiologi). Tidak heran bila sebagian pakar meneybut sistem pendidikan Islam pada pesantren dahulu bersifat “fiqih orientied” atau “nahwu orientied”.
Masa pendidikan tidak tertentu, yaitu sesuai dengan keinginan santri atau keputusan sang Kyai bila dipandang santri telah cukup menempuh studi padanya. Biasanya sang Kyai menganjurkan santri tersebut untuk nyantri di tempat lain atau mengamalkan ilmunya di daerah masing-masing. Para santri yang tekun biasanya diberi “ijazah” dari sang Kyai.
Lokasi pesantren model dahulu tidaklah seperti yang ada kini. Ia lebih menyatu dengan masyarakat, tidak dibatasi pagar (komplek) dan para santri berbaur dengan masyarakat sekitar. Bentuk ini masih banyak ditemukan pada pesantren-pesantren kecil di desa-desa Banten, Madura dan sebagian Jawa Tengah dan Timur.
Pesantren dengan metode dan keadaan di atas kini telah mengalami reformasi, meski beberapa materi, metode dan sistem masih dipertahankan. Namun keadaan fisik bangunan dan masa studi telah terjadi pembenahan. Contoh bentuk terakhir ini terdapat pada Pondok Pesantren Tebu Ireng dan Tegalrejo.
PESANTREN KINI
Bentuk, sistem dan metode pesantren di Indonesia dapat dibagi kepada dua periodisasi; Periode Ampel (salaf) yang mencerminkan kesederhanaan secara komprehensif. Kedua, Periode Gontor yang mencerminkan kemodernan dalam sistem, metode dan fisik bangunan. Periodisasi ini tidak menafikan adanya pesantren sebelum munculnya Ampel dan Gontor. Sebelum Ampel muncul, telah berdiri pesantren yang dibina oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim. Demikian juga halnya dengan Gontor, sebelumnya telah ada –yang justru menjadi cikal bakal Gontor- pesantren Tawalib, Sumatera. Pembagian di atas didasarkan pada besarnya pengaruh kedua aliran dalam sejarah kepesantrenan di Indonesia.
Sifat kemodernan Gontor tidak hanya terletak pada bentuk penyampaian materi yang menyerupai sistem sekolah atau perkuliahan di perguruan tinggi, tapi juga pada gaya hidup. Hal ini tercermin dari pakaian santri dan gurunya yang mengenakan celana dan dasi. Berbeda dengan aliran Ampel yang sarungan dan sorogan. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat para Kyai salaf menekankan perasaan anti kolonial pada setiap santri dan masyarakat, hingga timbul fatwa bahwa memakai celana dan dasi hukumnya haram berdasarkan sebuah hadist yang berbunyi: “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum (golongan), maka dia termasuk golongan itu”.
Dalam hal ini, Gontor telah berani melangkah maju menuju perubahan yang saat itu masih dianggap tabu. Namun demikian bukan tidak beralasan. Penggunaan dasi dan celana yang diterapkan Gontor adalah untuk mendobrak mitos bahwa santri selalu terkebelakang dan ketinggalan zaman. Prinsip ini tercermin dengan masuknya materi bahasa inggris menjadi pelajaran utama setelah bahasa Arab dan agama, dengan tujuan agar santri dapat mengikuti perkembangan zaman dan mampu mewarnai masyarakat dengan segala perubahannya.
Beberapa reformasi dalam sistem pendidikan pesantren yang dilakukan Gontor antara lain dapat disimpulkan pada beberapa hal. Di antaranya: tidak bermazdhab, penerapan organisasi, sistem kepimimpinan sang Kyai yang tdak mengenal sistem waris dan keturunan, memasukkan materi umum dan bahasa Inggris, tidak mengenal bahasa daerah, penggunaan bahasa Arab dan Inggris sebagai bahasa pengantar dan percakapan, olah raga dengan segala cabangnya dan lain-lain. Oleh karena itu Gontor mempunayi empat prinsip, yaitu: berbudi tinggi, berbadan sehat, berpikiran bebas dan berpengetahuan luas.
Langkah-langkah reformasi yang dilakukan Gontor pada gilirannya melahirkan alumni-alumni yang dapat diandalkan, terbukti dengan duduknya para alumni Gontor di berbagai bidang, baik di instansi pemertintah maupun swasta. Bila mazdhab Ampel telah melahirkan para ulama, pejuang kemerdekaan dan mereka yang memenuhi kebutuhan lokal, maka Gontor telah memenuhi kebutuhan di segala sendi kehidupan di negeri ini. Atas dasar itu pula penulis membagi sejarah sistem pendidikan pesantren kepada dua pase; pase Ampel dan pase Gontor.
Satu persamaan yang dimilki dua madzhab ini adalah bahwa kedua-duanya tidak mengeluarkan ijazah negeri kepada alumninya, dengan keyakinan bahwa pengakuan masyarakatlah sebagai ijazahnya.
Langkah reformasi di atas tidak berarti Gontor lebih unggul di segala bidang, terbukti kemampuan membaca kitab kuning (turost) masih dikuasai alumni mazdhab Ampel dibanding alumni mazdhab Gontor.
Pendiri Pesantren Pertama di Jawa Barat
Pendiri Pesantren Pertama di Jawa Barat
Syekh Hasanuddin
Menurut Babad Tanah Jawa, pesantren pertama di Jawa Barat adalah pesantren Quro
yang terletak di Tanjung Pura, Karawang. Pesantren ini didirikan oleh Syekh Hasanuddin,
seorang ulama dari Campa atau yang kini disebut Vietnam, pada tahun 1412 saka atau
1491 Masehi. Karena pesantrennya yang bernama Quro, Syekh Hasanuddin belakangan
dikenal dengan nama Syekh Quro.
Syekh Quro atau Syekh Hasanuddin adalah putra Syekh Yusuf Sidik. Awalnya, Syekh
Hasanuddin datang ke Pulau Jawa sebagai utusan. Ia datang bersama rombongannya
dengan menumpang kapal yang dipimpin Laksamana Cheng Ho dalam perjalanannya
menuju Majapahit.
Dalam pelayarannya, suatu ketika armada Cheng Ho tiba di daerah Tanjung Pura
Karawang. Sementara rombongan lain meneruskan perjalanan, Syekh Hasanuddin
beserta para pengiringnya turun di Karawang dan menetap di kota ini.
Di Karawang, Syekh Hasanuddin menikah dengan gadis setempat yang bernama Ratna
Sondari yang merupakan puteri Ki Gedeng Karawang. Di tempat inilah, Syekh
Hasanuddin kemudian membuka pesantren yang diberi nama Pesantren Quro yang
khusus mengajarkan Alquran. Inilah awal Syekh Hasanuddin digelari Syekh Quro atau
syekh yang mengajar Alquran.
Dari sekian banyak santrinya, ada beberapa nama besar yang ikut pesantrennya. Mereka
antara lain Putri Subang Larang, anak Ki Gedeng Tapa, penguasa kerajaan Singapura,
sebuah kota pelabuhan di sebelah utara Muarajati Cirebon. Puteri Subang Larang inilah
yang kemudian menikah dengan Prabu Siliwangi, penguasa kerajaan Sunda Pajajaran.
Kesuksesan Syekh Hasanuddin menyebarkan ajaran Islam adalah karena ia
menyampaikan ajaran Islam dengan penuh kedamaian, tanpa paksaan dan kekerasan.
Begitulah caranya mengajarkan Islam kepada masyarakat yang saat itu berada di bawah
kekuasaan raja Pajajaran yang didominasi ajaran Hindu.
Karena sifatnya yang damai inilah yang membuat Islam diminati oleh para penduduk
sekitar. Tanpa waktu lama, Islam berkembang pesat sehingga pada tahun 1416, Syekh
Hasanuddin kemudian mendirikan pesantren pertama di tempat ini. 2
Ditentang penguasa Pajajaran
Berdirinya pesantren ini menuai reaksi keras dari para resi. Hal ini tertulis dalam kitab
Sanghyang Sikshakanda Ng Kareksyan. Pesatnya perkembangan ajaran Islam membuat
para resi ketakutan agama mereka akan ditinggalkan.
Berita tentang aktivitas dakwah Syekh Quro di Tanjung Pura yang merupakan pelabuhan
Karawang rupanya didengar Prabu Angga Larang. Karena kekhawatiran yang sama
dengan para resi, ia pernah melarang Syekh Quro untuk berdakwah ketika sang syekh
mengunjungi pelabuhan Muara Jati di Cirebon.
Sebagai langkah antisipasi, Prabu Angga Larang kemudian mengirimkan utusan untuk
menutup pesantren ini. Utusan ini dipimpin oleh putera mahkotanya yang bernama
Raden Pamanah Rasa. Namun baru saja tiba ditempat tujuan, hati Raden Pamahan Rasa
terpesona oleh suara merdu pembacaan ayat-ayat suci Alquran yang dilantunkan Nyi
Subang Larang.
Putra mahkota yang setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran bergelar Prabu Siliwangi itu
dengan segera membatalkan niatnya untuk menutup pesantren tersebut. Ia justru
melamar Nyi Subang Larang yang cantik. Lamaran tersebut diterima oleh Nyi Santri
dengan syarat maskawinnya haruslah Bintang Saketi, yaitu simbol "tasbih" yang ada di
Mekah.
Pernikahan antara Raden Pamanah Rasa dengan Nyi Subang Karancang pun kemudian
dilakukan di Pesantren Quro atau yang saat ini menjadi Masjid Agung Karawang. Syekh
Quro bertindak sebagai penghulunya.
Menyebar santri untuk berdakwah
Tentangan pemerintah kerajaan Pajajaran membuat Syekh Quro mengurangi intensitas
pengajiannya. Ia lebih memperbanyak aktivitas ibadah seperti shalat berjamaah.
Sementara para santrinya yang berpengalaman kemudian ia perintahkan untuk
menyebarkan Islam ke berbagai kawasan lain. Salah satu daerah tujuan mereka adalah
Karawang bagian Selatan seperti Pangkalan lalu ke Karawang Utara di daerah Pulo
Kalapa dan sekitarnya.
Dalam penyebaran ajaran Islam ke daerah baru, Syekh Quro dan para pengikutnya
menerapkan cara yang unik. Antara lain sebelum berdakwah menyampaikan ajaran Islam,
mereka terlebih dahulu membangun Masjid. Hal ini dilakukan Syekh Quro mengacu 3
pada langkah yang dicontohkan Rasulullah SAW ketika berhijrah dari Mekkah ke
Madinah. Saat itu beliau terlebih dahulu membangun Masjid Quba.
Cara lainnya, adalah dengan menyampaikan ajaran Islam melalui pendekatan dakwah bil
hikmah. Hal ini mengacu pada AlQuran surat An Nahl ayat 125, yang artinya: "Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik."
Sebelum memulai dakwahnya, Syekh Quro juga telah mempersiapkan kader-kadernya
dengan pemahaman yang baik soal masyarakat setempat. Ini dilakukan agara penyebaran
agamanya berjalan lancar dan dapat diterima oleh masyarakat. Hal inilah yang
melatarbelakangi kesuksesan dakwah Syekh Quro yang sangat memperhatikan situasi
kondisi masyarakat serta sangat menghormati adat istiadat penduduk yang didatanginya.
Selama sisa hidup hingga akhirnya meninggal dunia, Syekh Quro bermukim di Karawang.
Ia dimakamkan di Desa Pulo Kalapa, Kecamatan Lemah Abang, Karawang. Tiap malam
Sabtu, makam ini dihadiri ribuan peziarah yang datang khusus untuk menghadiri acara
Sabtuan untuk mendoakan Syekh Quro.
Belakangan masjid yang dibangun oleh Syekh Quro di pesantrennya, kemudian
direnovasi. Namun bentuk asli masjid -- berbentuk joglo beratap dua limasan,
m
Syekh Hasanuddin
Menurut Babad Tanah Jawa, pesantren pertama di Jawa Barat adalah pesantren Quro
yang terletak di Tanjung Pura, Karawang. Pesantren ini didirikan oleh Syekh Hasanuddin,
seorang ulama dari Campa atau yang kini disebut Vietnam, pada tahun 1412 saka atau
1491 Masehi. Karena pesantrennya yang bernama Quro, Syekh Hasanuddin belakangan
dikenal dengan nama Syekh Quro.
Syekh Quro atau Syekh Hasanuddin adalah putra Syekh Yusuf Sidik. Awalnya, Syekh
Hasanuddin datang ke Pulau Jawa sebagai utusan. Ia datang bersama rombongannya
dengan menumpang kapal yang dipimpin Laksamana Cheng Ho dalam perjalanannya
menuju Majapahit.
Dalam pelayarannya, suatu ketika armada Cheng Ho tiba di daerah Tanjung Pura
Karawang. Sementara rombongan lain meneruskan perjalanan, Syekh Hasanuddin
beserta para pengiringnya turun di Karawang dan menetap di kota ini.
Di Karawang, Syekh Hasanuddin menikah dengan gadis setempat yang bernama Ratna
Sondari yang merupakan puteri Ki Gedeng Karawang. Di tempat inilah, Syekh
Hasanuddin kemudian membuka pesantren yang diberi nama Pesantren Quro yang
khusus mengajarkan Alquran. Inilah awal Syekh Hasanuddin digelari Syekh Quro atau
syekh yang mengajar Alquran.
Dari sekian banyak santrinya, ada beberapa nama besar yang ikut pesantrennya. Mereka
antara lain Putri Subang Larang, anak Ki Gedeng Tapa, penguasa kerajaan Singapura,
sebuah kota pelabuhan di sebelah utara Muarajati Cirebon. Puteri Subang Larang inilah
yang kemudian menikah dengan Prabu Siliwangi, penguasa kerajaan Sunda Pajajaran.
Kesuksesan Syekh Hasanuddin menyebarkan ajaran Islam adalah karena ia
menyampaikan ajaran Islam dengan penuh kedamaian, tanpa paksaan dan kekerasan.
Begitulah caranya mengajarkan Islam kepada masyarakat yang saat itu berada di bawah
kekuasaan raja Pajajaran yang didominasi ajaran Hindu.
Karena sifatnya yang damai inilah yang membuat Islam diminati oleh para penduduk
sekitar. Tanpa waktu lama, Islam berkembang pesat sehingga pada tahun 1416, Syekh
Hasanuddin kemudian mendirikan pesantren pertama di tempat ini. 2
Ditentang penguasa Pajajaran
Berdirinya pesantren ini menuai reaksi keras dari para resi. Hal ini tertulis dalam kitab
Sanghyang Sikshakanda Ng Kareksyan. Pesatnya perkembangan ajaran Islam membuat
para resi ketakutan agama mereka akan ditinggalkan.
Berita tentang aktivitas dakwah Syekh Quro di Tanjung Pura yang merupakan pelabuhan
Karawang rupanya didengar Prabu Angga Larang. Karena kekhawatiran yang sama
dengan para resi, ia pernah melarang Syekh Quro untuk berdakwah ketika sang syekh
mengunjungi pelabuhan Muara Jati di Cirebon.
Sebagai langkah antisipasi, Prabu Angga Larang kemudian mengirimkan utusan untuk
menutup pesantren ini. Utusan ini dipimpin oleh putera mahkotanya yang bernama
Raden Pamanah Rasa. Namun baru saja tiba ditempat tujuan, hati Raden Pamahan Rasa
terpesona oleh suara merdu pembacaan ayat-ayat suci Alquran yang dilantunkan Nyi
Subang Larang.
Putra mahkota yang setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran bergelar Prabu Siliwangi itu
dengan segera membatalkan niatnya untuk menutup pesantren tersebut. Ia justru
melamar Nyi Subang Larang yang cantik. Lamaran tersebut diterima oleh Nyi Santri
dengan syarat maskawinnya haruslah Bintang Saketi, yaitu simbol "tasbih" yang ada di
Mekah.
Pernikahan antara Raden Pamanah Rasa dengan Nyi Subang Karancang pun kemudian
dilakukan di Pesantren Quro atau yang saat ini menjadi Masjid Agung Karawang. Syekh
Quro bertindak sebagai penghulunya.
Menyebar santri untuk berdakwah
Tentangan pemerintah kerajaan Pajajaran membuat Syekh Quro mengurangi intensitas
pengajiannya. Ia lebih memperbanyak aktivitas ibadah seperti shalat berjamaah.
Sementara para santrinya yang berpengalaman kemudian ia perintahkan untuk
menyebarkan Islam ke berbagai kawasan lain. Salah satu daerah tujuan mereka adalah
Karawang bagian Selatan seperti Pangkalan lalu ke Karawang Utara di daerah Pulo
Kalapa dan sekitarnya.
Dalam penyebaran ajaran Islam ke daerah baru, Syekh Quro dan para pengikutnya
menerapkan cara yang unik. Antara lain sebelum berdakwah menyampaikan ajaran Islam,
mereka terlebih dahulu membangun Masjid. Hal ini dilakukan Syekh Quro mengacu 3
pada langkah yang dicontohkan Rasulullah SAW ketika berhijrah dari Mekkah ke
Madinah. Saat itu beliau terlebih dahulu membangun Masjid Quba.
Cara lainnya, adalah dengan menyampaikan ajaran Islam melalui pendekatan dakwah bil
hikmah. Hal ini mengacu pada AlQuran surat An Nahl ayat 125, yang artinya: "Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik."
Sebelum memulai dakwahnya, Syekh Quro juga telah mempersiapkan kader-kadernya
dengan pemahaman yang baik soal masyarakat setempat. Ini dilakukan agara penyebaran
agamanya berjalan lancar dan dapat diterima oleh masyarakat. Hal inilah yang
melatarbelakangi kesuksesan dakwah Syekh Quro yang sangat memperhatikan situasi
kondisi masyarakat serta sangat menghormati adat istiadat penduduk yang didatanginya.
Selama sisa hidup hingga akhirnya meninggal dunia, Syekh Quro bermukim di Karawang.
Ia dimakamkan di Desa Pulo Kalapa, Kecamatan Lemah Abang, Karawang. Tiap malam
Sabtu, makam ini dihadiri ribuan peziarah yang datang khusus untuk menghadiri acara
Sabtuan untuk mendoakan Syekh Quro.
Belakangan masjid yang dibangun oleh Syekh Quro di pesantrennya, kemudian
direnovasi. Namun bentuk asli masjid -- berbentuk joglo beratap dua limasan,
m
LATAR BELAKANG BERDIRINYA PONDOK PESANTREN MODERN AL-ISTIQAMAH
Pondok Pesanten Modern Al-istiqamah adalah suatu lembaga pendidikan yang terletak di desa Ngatabaru yang terletak kurang lebih 14 Km dari kota Palu atau yang lebih jelasnya terletak pada wilayah pekan penghijauan Nasional yang di resmikan oleh presiden Suharto pada tahun 1990. Tepat pada tanggal 2 mei 1993 KH.M.Arif Siraj Lc mulai mendirikan Pondok Pesantren Modern Al-istiqamah di atas tanah seluas kurang lebih 3 hektar. pondok ini adalah salah satu pondok alumni dari pondok modern darussalam gontor sebai upaya mewujudkan adanya seribu gontor di indonesia.
pada tanggal 11 juli 1998, pondok ini mulai membuka pendidikannya dan murid baru pada tahun itu berjumlah 17 orang. tingkat pendidikannya adalah Tarbiyyatul Mu’allimin Al-islamiyah yang harus di tempuh selama 6 tahun bagi tamatan SD/MI dan 4 tahun bagi tamatan SMP/MTS. Di Pondok ini tidak mengenal adanya garis dikhotomi antara ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, yang mana keduanya di padukan secara penuh dengan menggunakan methode secara langsung (direct mehode) tanpa terjemahan kedalam bahasa indonesia bagi bahasa arab asing (Arabic dan Inggris) yang menjadikan santri belajar secara aktif.
proses pendidikan di pondok ini berlangsung selama 24 jam yang dipadukan dengan system asrama yang mna mereka tinggal langsung bersama guru mereka sehingga mereka bisa berkonsultasi kapanpun waktunya. pendidikan keterampilan,latiha pidato,kepramukaan,kesenian dan olah raga merupakan bagian dari kehidupan santri,sehingga apa mereka lihat,mereka dengar,dan mereka rasakan adalah pendidikan.
Prospek Pesantren di Masa Depan
Era globalisasi dewasa ini dan di masa datang sedang dan akan mempengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia umumnya atau pendidikan Islam, termasuk pesantren, khususnya argumen panjang lebar tidak perlu dikemukakan lagi bahwa masyarakat muslim tidak bisa menghindarkan diri dari proses globalisasi tersebut, apalagi kalau ingin survive dan berjaya ditengah perkembangan dunia yang kian kompetitif dimasa kini, diabad XXI. Globalisasi sebenarnya bukanlah fenomena baru sama sekali bagi masyarakat-masyarakat muslim Indonesia. Bahkah berbarengan dengan datangnya berbagai gelombang global secara konstan dari waktu ke waktu.
Sumber globalisasi tersebut adalah Timur Tengah khususnya mula-mula Makkah dan Madinah, dari sejak abad 20, juga Kairo. Karena itu seperti bisa diduga, globsasi ini lebih bersifat religio-intelektual, meski dalam kurun-kurun tertentu juga diwarnai oleh semangat religio-politik. Tetapi globalisasi yang berlangsnng dan melanda masyarakat muslim Indonesia sekarag menampilkan sumber dan watak yang berbeda. Proses globalisasi dewasa ini tidak lagi bersumber dari Timur Tengah, melainkan dari Barat, yang terus memegang supremasi dan hegemoni dalam berbagai lapangan kehidupan masyarakat dunia umumnya. Globalisasi yang bersumber dari Barat tampil dengan watak ekonomipolitik dan sains teknologi.
Dominasi dan hegemoni politik Barat dalam segi-segi tertentu mungkin saja telah "merosot", khususnya setelah berakhir perang dunia kedua dan "Perang Dingin". Tetapi hegemoni ekonomi dan sains-teknologi Barat tetap belum tergoyahkan. Meski muncul beberapa kekuatan ekonomi baru, seperti Jepang dan Korea Selatan, tetapi kultur hegemoni ekonomi dan sainsteknologi, tetap sarat dengan nilai-nilai Barat. Dengan demikian, hegemoni tadi menemukan momentum baru, yang pada gilirannya mempercepat proses globalisasi.
Hegemoni ekonomi dan sains-teknologi jelas bukan persoalan sederhana. Hegemoni dalam bidang-bidang ini bukan hanya menghasilkan globalisási ekonomi dan sains-teknologi, tetapi juga bidang-bidang intelektual, sosial, nilai-nilai dan gaya hidup dan seterusnya. Globalisasi Coca Cola atau Mc Donald, bukan sekedar ekspansi ekonomi, tetapi juga gaya hidup dengan segala implikasinya. Globalisasi "Mc Donald" misalnya menimbulkan perubahan dalam pola dan jenis makanan yang dikonsumsi masyarakat.
Perubahan ini pada gilirannya menimbulkan implikasi-implikasi tertentu bagi kesehatan masyarakat, penyakit-penyakit, semacam tingginya kolesterol, , obesitas (kegemukan) sekarang dikhawatirkan ahli-ahli kesehatan Indonesia semakin menyebar dalam sebagian marakat Indonesia terutama di wilayah-wilayah dimana ekspansi dan penetrasi "Mc Donaldnisasi" dann Coca-colanisasi" ini terlihat paling kuat. Hal yang sama juga bisa dilihat pada hegemoni model-model Pendidikan Barat terhadap sistem Pendidikan Nasional di Indonesia.
Itulah sebabnya ke depan, Pondok Pesantren harus melakukan pembenahan diri dengan maksimal dan terencana. Model pendidikan Islam yang di emban oleh Pondok Pesantren harus terus mengalami pembaharuan-pembaharuan dimana karakteristik Pondok Pesantren harus tetap melekat kuat dan menjadi jiwa dan pergerakan Pondok Pesantren dan berbareng dengan itu pengadopsian model-model pendidikan modern harus dilakukan dengan tanpa mengurangi sedikitpun pengaktualisasian nilai-nilai ke-Islam-an yang hidup dalan pesantren. Lebih dari itu transformasi penguasaan teknologi modern serta profesionalisasi para santri harus juga dikedepankan sebagai salah satu misi Pondok Pesantren Modern. Hal yang amat penting adalah Pondok Pesantren juga harus menerapkan prinsip-prinsip bahwa Pondok Pesantren adalah sebuah komunitas sosial masyarakat Islam modern juga harus terus diikuti dengan berkembangnya kegiatan ekonomi modern dalam pesantren yang mendukung kuatnya posisi ekonomi pesantren di mata masyarakat modern. Sudah saatnya bahwa Pondok Pesantren juga harus menjadi sebuah sistim Pendidikan yang menyeluruh, menyatu dan terintergrasi dimana di dalam kawasan Pondok Pesantren berdiri Taman Bermain Anak-anak (Play Group), Taman kanak-kanak, Pondok Pesantren Modern SD, SMP,SMU dan Perguruan Tinggi.
Kedepan dengan kelenturannya untuk memodermsasikan model pendidikan Islam di dalan pesantren, maka Pesantren akan terus ikut berkembang menjadi "Centre of Moslem Revitalisations" (Pusat Revitalisasi Islam). Disini lulusan-lulusan Pesantren akn mengabdikan diri sebagai pembaharu dan modernis IsIam dan membentuk serta mewarnai dunia modern khususnya bangsa Indonesia dengan nafas Islam yang dibawabanya dari Pesantren. Dan dengan itu akan lahir peradaban Islam Modern yang mampu berkembang dan membentuk tata dunia baru Islam sebagai Rahmatan lil alamin (Islam sebagai Rahmat bagi dunia) dan bukan sebagaimana menjadi sebuah kekuatan yang seringkali diisukan sebagai ancaman bagi dunia modern.
Konsep Pendidikan Islam dan Pesantren
Manzoor Ahmed mendefinisikan pendidikan sebagai "suatu usaha yang dilakukan individu-individu dari masyarakat untuk mentransformasikan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, dan bentuk-bentuk ideal kehidupan mereka kepada generasi muda untuk membantu mereka dalam meneruskan aktivitas kehidupan secara efektif dan berhasil".
Sharif Khan mendefinisikan maksud dan tujuan pendikan Islam sebagai berikut:
a) Memberikan pengajaran Al-Qur’an sebagai langkah pertama pendidikan.
b) Menanamkan pengertian-pengertian berdasarkan pada ajaran-ajaran fundamental Islam yang terwujud dalam Al-Qur’an dan Sunnah dan bahwa ajaran-ajarar ini bersifat abadi.
c) Memberikan pengertian-pengertian dalam bentuk pengetahuan dan skill dengan pemahaman yang jelas bahwa hal-hal tersebut dapat berubah sesuai dengan Perubahan- Perubahan dalam masyarakat.
d) Menanamkam pemahaman bahwa ilmu pengetahuan tanpa basis Iman dan Islam adalah pendidikan yang tidak utuh dan pincang.
e) Menciptakan generasi muda yang memiliki kekuatan baik dalam keimanan maupun dalam ilmu pengetahuan.
f) Mengembangkan manusia Islami yang berkualitas tinggi yang diakui secara universal.
Pendekatan pendidikan Islam yang diajukan oleh kedua pakar pendidikan di atas tersimpul dalam First World Conference on Muslim Education yang diadakan di Makkah pada tahun 1997: "Tujuan daripada pendidikan (Islam) adalah menciptakan manusia "yang menyembah Allah" dalam arti yang sebenarnya, yang membangun struktur pribadinya sesuai dengan syariah Islam serta melaksanakan segenap aktivitas keseharian-nya sebagai wujud ketundukannya pada Tuhan. "Oleh karena itu, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan pendidikan Islam disini bukanlah dalam arti pendidikan ilmu-ilmu agama Islam semata. Akan tetapi yang dimaksud dengan pendidikan Islam disini adalah menanamkan nilai-nilai fundamental Islam kepada setiap Muslim, terlepas dari disiplin ilmu apapun yang akan dikaji. Sehingga diharapkan akan bermunculan "anak-anak muda enerjik yang cerdik pandai. Berdasarkan kerangka nilai-nilai pendidikan Islam itu,
kita mencoba berdialog dengan realitas sistem pendidikan, beserta seluruh unsur yang melekat pada pesantren, sebagaimana yang dengan detil dijabarkan diatas. Sampai batas-batas tertentu, pesantren telah berperan besar mengenalkan, menyebarkan dan mempertahankan Islam (dan nilai-nilai kemanusiaan) di Indonesia. Pola pendidikannya yang amat menekankan fleksibilitas memberi nilai-nilai positif pada pesantren untuk tetap eksis menghadapi perubahan zaman.Pendidikan pesantren muncul dan berkembang sesuai kebutuhan masyarakat sekitar.
Pesantren dalam Sistem Pendidikan Islam
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan, sekaligus pusat penyebaran agama, sebagaimana yang diuraikan di atas, diperkirakan sejalan dengan gelombang pertama proses penyebaran agama Islam di daerah Jawa, dan sampai sekarang masih tetap bertahan, bahkan mengalami perkembangan dengan berdiri diberbagai daerah di Indonesia. Perkembangan pondok pesantren menunjukkan gejala naik, yaitu dengan berdirinya pondok-pondok pesantren baru, walaupun secara kualitatif masih dipertanyakan. Namun indikator kearah perbaikan kualitas telah tampak, yaitu dengan mengembangkan kegiatan-kegiatan baru yang mengaral pada penggabungan Pondok Pesantren dan sistem Sekolah Modern.
Ini menunjukkan bahwa pondok pesantren responsive, dan relevan terhadap perubaha an perkembangan masyarakat. Uraian di atas juga telah mmberikan petunjuk bahwa pondok pesantren mempunyai akar sejarah yang panjang. Selain itu, pondok pesantren juga mempunyai akar sosial yang kuat hingg menyentuh lapisan masyarakat paling bawah. Sehingga dapat dipahami bila pengaruh dan peranannya pada masyarakat sekitarnya begitu luas. Melalui kajian sejarah, dapat diketahui bahwa pondok pesantren sebagai pusat perubahan-perubahan masyarakat lewat kegiatan penyebaran agama, seperti tercermin dalam berbagai pengaruh pondok pesantren terhadap kegiatan politik di antara para raja dan pangeran Jawa. Setelah Belanda datang, pondok pesantren menjadi pusat perlawanan dan benteng pertahanan rakyat, seperti dikemukakan oleh Sartono Kartodirjo bahwa pondok pesantren mempunyai pengaruh besar dalam mobilisasi masyarakat pedesaan untuk aksi-aksi protes terhadap masuknya birokrasi kolonial di pedesaan. Kehadiran dan peranan serta pengaruh pondok pesantren dalam panggung sejarah Indonesia, sampai Masa revolusi telah terbukti.
Ini merupakan bukti komitmen pesantren terhadap agama, bangsa, dan juga masyarakat Indonesia. Pada tahun 1640-1682, terjadi perjuangan yang sangat menentukan dalam sejarah Islam di Indonesia. Perjuangan itu adalah memperebutkan hegemoni antara kerajaan-kerajaan Islam di pulau Jawa dengan kolonial Belanda.
Akhirnya perjuangan kerajaan Islam dapat dipatahkan oleh pihak Belanda. Setelah Belanda berhasil mencengkeramkan kekuasaannya di Indonesia, baik secara ekonomi maupun politik di Pulau Jawa, Beland segera melaksanakan pembatasan pengawasan yang ketat kepada Islam. Selain alasan politik dan keamanan,
Belanda juga mendukung misi kristenisasi. Ditegaskan oleh Zamaksyari Dhofier, bahwa orang Belanda pada waktu itu adalah penganut Calvinis Puritan yang sangat fanatis. Pembatasan dan pengawasan yang ketat terhadap Islam di kota, telah mengakibatkan adanya perpindahan pusat studi Islam ke daerah pedesaan yang mengambil bentuk pondok pesantren. Hal ini dikarenakan Islam di kota tidak lagi mampu berperan dalam pembentukan kehidupan kota, baik agama, maupun sosio-kultur.
Kota merupakan pusat politik Kolonial dan Kristen. Sementara wilayah pedesan menjadi pusat pertumbuhan pondok pesantren. Secara politis-geografis, pedesaan Iebih aman dari jangkauan Belanda, sehingga kyai lebih leluasa dalam proses kehidupan masyarakat setempat. Sejarah mencatat, peran yang besar dimainkan oleh pondok pesantren dalam perjuangan melawan Belanda Pertumbuhan dan perkembangan pondok pesantren, dan apa yang membuat pondok pesantren mampu bertahan seIama kurun waktu sejarah hingga sekarang ini, merupakan hal yang menarik, sehingga pondok pesantren masih eksis di tengah umat Islam, dan akan mampu bertahan di waktu yang akan datang. Terdapat dua faktor yang mendukung eksistensi pondok pesantren secara umum, yaitu meliputi faktor intern dan ekstern.
Intregitas Pendidikan Pesantren Modern
Sebagai sebuah institusi yang berjiwa dan berbentuk pondok pesantren, tentu misi utama dan pertama dari pondok pesantren tersebut adalah pendidikan. Pondok pesantren bisa dibilang sebagai mubtadi’ dari lahirnya lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia yang cendrung mengikuti pola “Barat” yang modern. Oleh karena itu, pendidikan pondok pesantren acap kali dijuluki sebagai basis pendidikan tradisional yang merupakan khas pendidian Indonesia. Bahkan, Clifford Geertz menyebutkan bahwa pendidikan pesantren sebagai subkultural masyarakat Indonesia.
Pondok pesantren berdiri sezaman dengan masuknya Islam ke Indonesia, dan merupakan hasil dari proses akulturasi damai antara ajaran islam yang dibawa para wali dan pedagang yang umumnya bernuansa mistis, dengan budaya asli (indigenous culture ) bangsa Indonesia yang bersumber dari agama Hindu dan Budha.
Selain itu, Pendidikan pesantren merupakan sarana yang dirancang khusus oleh para ulama’ (dulu) untuk membentuk pola fikir yang produktif dan progresif. Dengan adanya pola fikir yang produkif dan progresif tersebut maka natinya akan menghasilkan pribadi-pribadi unggul yang nantinya diharapkan dapat merealisasikan sumbangsih pemikiran yang begitu besar terhadap agama dan bangsa. sehingga Pendidikan pesantren menjadi suatu hal yang sangat urgen sekali untuk dikonsumsi oleh berbagai kalangan khususnya di negeri kita ini, ketika zaman sudah mulai merancang pola kehidupan modernnya seprti halnya sekarang ini. Karena, sejarah berbicara, bahwa mayoritas mereka yang sukses khususnya di Indonesia merupakan alumni pondok pesantren. Seperti halnya Prof. Dr. Din Syamsuddin sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jamal D Rahman sebagai Pimpinan Redaksi majalah sastra terpopuler di Indonesia yaitu majalah Horison, Maftuh Basuni sebagai mentri agama dan masih banyak yang lainnya yang merupakan alumni pesantren.
Sistem pendidikan pesantren sudah terbukti bisa mencetak para santrinya menjadi pribadi-pribadi unggul, produktif dan progresif. Oleh karena itu, anggapan pemerintah yang sering menganak tirikan pesantren itu sebenarnya anggapan yang salah besar. Karena realita membuktikan para alumni pesantren sudah banyak yang membuktikan taringnya seperti halnya menjadi seorang politkus, penulis dan seorang pemimpin umat yang mempunyai karismatik tinggi.
Dengan berkembangnya zaman dari tahun ketahun, menandakan bahwa pondok pesantren itu harus mengadakan suatu penambahan sistem pendidikan. Karena kalau tidak direalisasikan penambahan sistem pendidikan tersebut maka pendidikan pesantren itu akan terkucilkan. Penambahan sistem tersebut tentunya dengan tidak menghapus kebiasaan-kebiasaan dari sistem pendidikan pesantren, yaitu seperti keterampilan baca kitab kuning. Penambahan-penambahan sistem pendidikan tersebut seperti halnya ilmu-ilmu mantiq dan ilmu-ilmu umum lainnya yang biasa diterapkan di sekolah-sekolah umum pada umumnya. Pendidikan pesantren seprtiinilah yang disebut sebagai pendidikan pesantren modern.
Sistem pendidikan pesantren modern merupakan acuan yang harus dikembangkan. Pendidikan pesantren modern seperti yang tercantum diatas bahwa tidak hanya mengajarkan anak didiknya supaya bisa baca kita kuning saja dan ilmu-ilmu umum lainnya, melainkan juga diajari bagaimana berinteraksi dengan masyarakat. Nah, inilah sebetulnya yang menjadi corak dari pendidikan pesantren modern. Karena kita tidak mungkin menemukan sistem seperti ini selain di pesantren modern, pendidikan diluar pesantren seperti yang kita ketahui hanya bisa menyajikan bagaimana siswanya bisa ahli ilmu mantiq, matematika, sosiologi. Pada dasarnya pendidikan itu bukan hanya diajarkan seperti hal itu saja.
Kita bisa mengambil kesimpulan, bahwasanya pendidikan pesantren modern merupakan pendidikan yang paling komunikatif untuk dijadikan konsumsi bagi masyarakat Indonesia sehingga bangsa Indonesia dapat dibentuk menjadi pribadi-pribadi unggul, produktif dan progresif. Oleh karena itu, seyogyanyalah bagi kita untuk mengimplemintasikan sistem pendidikan pesantren tersebut supaya anatomi pemerintah yang menganak tirikan pendidikan pesantren modern itu bisa terhapus di negeri Inodonesia ini.
Multikulturalisme dalam Pendidikan
Sebagai sebuah cara pandang sekaligus gaya hidup, multikulturalisme menjadi gagasan yang cukup kontekstual dengan realitas masyarakat kontemporer saat ini. Prinsip mendasar tentang kesetaraan, keadilan, keterbukaan, pengakuan terhadap perbedaan adalah prinsip nilai yang dibutuhkan manusia di tengah himpitan budaya global. Oleh karena itu, sebagai sebuah gerakan budaya, multikulturalisme adalah bagian integral dalam pelbagai sistem budaya dalam masyarakat yang salah satunya dalam pendidikan, yaitu melalui pendidikan yang berwawasan multikultural.
Pendidikan dengan wawasan mutlikultural dalam rumusan James A. Bank adalah konsep, ide atau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara.[vii] Sementara menurut Sonia Nieto, pendidikan multikultural adalah proses pendidikan yang komperhensif dan mendasar bagi semua peserta didik. Jenis pendidikan ini menentang bentuk rasisme dan segala bentuk diskriminasi di sekolah, masyarakat dengan menerima serta mengafirmasi pluralitas (etnik, ras, bahasa, agama, ekonomi, gender dan lain sebagainya) yang terefleksikan di antara peserta didik, komunitas mereka, dan guru-guru. Menurutnya, pendidikan multikultur ini haruslah melekat dalam kurikulum dan strategi pengajaran, termasuk juga dalam setiap interaksi yang dilakukan di antara para guru, murid dan keluarga serta keseluruhan suasana belajarmengajar.
Karena jenis pendidikan ini merupakan pedagogi kritis, refleksi dan menjadi basis aksi perubahan dalam masyarakat, pendidikan multikultural mengembangkan prisip-prinsip demokrasi dalam berkeadilan sosial.[viii] Sementara itu, Bikhu Parekh mendefinisikan pendidikan multikultur sebagai “an education in freedom, both in the sense of freedom from ethnocentric prejudices and biases, and freedom to explore and learn from other cultures and perpectives”.[ix]
Dari beberapa dua definisi di atas, hal yang harus digarisbawahi dari diskursus multikulturalisme dalam pendidikan adalah identitas, keterbukaan, diversitas budaya dan transformasi sosial. Identitas sebagai salah satu elemen dalam pendidikan mengandaikan bahwa peserta didik dan guru merupakan satu individu atau kelompok yang merepresentasikan satu kultur tertentu dalam masyarakat. Identitas pada dasarnya inheren dengan sikap pribadi ataupun kelompok masyarakat, karena dengan identitas tersebutlah, mereka berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lain, termasuk pula dalam interaksi antar budaya yang berbeda. Dengan demikian dalam pendidikan multikultur, identitas-identitas tersebut diasah melalui interaksi, baik internal budaya (self critic) maupun eksternal budaya. Oleh karena itu, identitas lokal atau budaya lokal merupakan muatan yang harus ada dalam pendidikan multikultur.
Dalam masyarakat ditemukan berbagai individu atau kelompok yang berasal dari budaya berbeda, demikian pula dalam pendidikan, diversitas tersebut tidak bisa dielakkan. Diversitas budaya itu bisa ditemukan di kalangan peserta didik maupun para guru yang terlibat -secara langsung atau tidak- dalam satu proses pendidikan. Diversitas itu juga bisa ditemukan melalui pengayaan budaya-budaya lain yang ada dan berkembang dalam konstelasi budaya, lokal, nasional dan global. Oleh karena itu, pendidikan multikultur bukan merupakan satu bentuk pendidikan monokultur, akan tetapi model pendidikan yang berjalan di atas rel keragaman. Diversitas budaya ini akan mungkin tercapai dalam pendidikan jika pendidikan itu sendiri mengakui keragaman yang ada, bersikap terbuka (openess) dan memberi ruang kepada setiap perbedaan yang ada untuk terlibat dalam satu proses pendidikan.
Dalam pelaksanaannya, Banks menjelaskan lima dimensi yang harus ada yaitu, pertama, adanya integrasi pendidikan dalam kurikulum (content integration) yang di dalamnya melibatkan keragaman dalam satu kultur pendidikan yang tujuan utamanya adalah menghapus prasangka. Kedua, konstruksi ilmu pengetahuan (knowledge construction) yang diwujudkan dengan mengetahui dan memahami secara komperhensif keragaman yang ada. Ketiga, pengurangan prasangka (prejudice reduction) yang lahir dari interaksi antarkeragaman dalam kultur pendidikan. Keempat, pedagogik kesetaraan manusia (equity pedagogy) yang memberi ruang dan kesempatan yang sama kepada setiap elemen yang beragam. Kelima, pemberdayaan kebudayaan sekolah (empowering school culture). Hal yang kelima ini adalah tujuan dari pendidikan multikultur yaitu agar sekolah menjadi elemen pengentas sosial (transformasi sosial) dari struktur masyarakat yang timpang kepada struktur yang berkeadilan.[x]
Sementara itu, H.A.R. Tilaar menggarisbawahi bahwa model pendidikan yang dibutuhkan di Indonesia harus memperhatikan enam hal, yaitu, pertama, pendidikan multikultural haruslah berdimensi “right to culture” dan identitas lokal. Kedua, kebudayaan Indonesia yang menjadi, artinya kebudayaan Indonesia merupakan Weltanshauung yang terus berproses dan merupakan bagian integral dari proses kebudayaan mikro. Oleh karena itu, perlu sekali untuk mengoptimalisasikan budaya lokal yang beriringan dengan apresiasi terhadap budaya nasional. Ketiga, pendidikan multikultural normatif yaitu model pendidikan yang memperkuat identitas nasional yang terus menjadi tanpa harus menghilangkan identitas budaya lokal yang ada. Keempat, pendidikan multikultural merupakan suatu rekonstruksi sosial, artinya pendidikan multikultural tidak boleh terjebak pada xenophobia, fanatisme dan fundamentalisme, baik etnik, suku, ataupun agama. Kelima, pendidikan multikultural merupakan pedagogik pemberdayaan (pedagogy of empowerment) dan pedagogik kesetaraan dalam kebudayaan yang beragam (pedagogy of equity). Pedagogik pemberdayaan pertama-tama berarti, seseorang diajak mengenal budayanya sendiri dan selanjutnya digunakan untuk mengembangkan budaya Indonesia di dalam bingkai negara-bangsa Indonesia. Dalam upaya tersebut diperlukan suatu pedagogik kesetaraan antarindividu, antarsuku, antaragama dan beragam perbedaan yang ada. Keenam, pendidikan multikultural bertujuan mewujudkan visi Indonesia masa depan serta etika bangsa. Pendidikan ini perlu dilakukan untuk mengembangkan prinsip-prinsip etis (moral) masyarakat Indonesia yang dipahami oleh keseluruhan komponen sosial-budaya yang majemuk.
Langganan:
Postingan (Atom)