Selain sebagai lembaga dakwah, pesantren juga mengemban fungsi utama sebagai lembaga pendidikan. Fungsi ini memiliki dua misi: Pertama, pendidikan umat secara umum untuk mendidik dan menyiapkan pemuda-pemudi Islam menjadi umat berkualitas (khaira ummah) pelaksana misi amar ma’ruf nahi munkar dan generasi yang shalih. Kedua, sebagai lembaga pendidikan pengkaderan ulama, agent of exellence, dan pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama. Dalam hal ini, tugas pesantren adalah mendidik dan menyiapkan thâ`ifah mutafaqqihah fid-dîn, yaitu kader-kader ulama/pengasuh pesantren yang mampu mewarisi sifat dan kepribadian para Nabi, serta siap melaksanakan tugas indzârul qawm.
Selain itu, pesantren juga dituntut untuk berusaha mengembalikan citra serta fungsi lembaga-lembaga pendidikan Islam sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan agama, sebagai realisasi dari wahyu Allah pertama (iqra`!). Dalam misi ini, terselip harapan agar pesantren menjadi tempat rujukan masyarakat dalam menjawab permasalahan-permasalahan keseharian mereka berdasarkan perspektif dan pandangan agama.
Sejarah mencatat, pondok pesantren yang telah berdiri sezaman dengan masuknya Islam ke Indonesia, dan merupakan hasil dari proses akulturasi damai antara ajaran Islam yang dibawa para wali dan pedagang yang umumnya bernuansa mistis, dengan budaya asli (indigenous culture) bangsa Indonesia yang bersumber dari agama Hindu dan Buddha. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, pesantren yang berdiri di pusat-pusat kekuasaan dan perdagangan merupakan satu-satunya sistem pendidikan yang befungsi sebagai lembaga kaderisasi bagi para putera pembesar kerajaan dan tokoh masyarakat. Pada masa kekuasaan Raja Sultan Agung Mataram, pesantren bahkan sudah mampu menerapkan sistem pendidikan berjenjang, dari pendidikan terendah, menengah, tinggi dan takhassus. Walau tidak ada peraturan wajib belajar, dalam budaya Indonesia masa lalu, anak yang berusia tujuh tahun ke atas, baik laki-laki maupun perempuan, harus dipesantrenkan di desanya.
Pada masa penjajahan Belanda, terjadi stigmatisasi pesantren secara kontinu dan sistematis, yang dipropagndai oleh penjajah melalui kekuasaan mereka. Di samping Misi khusus kaum kolonial dalam kepentingan kekuasaan, militer, ekonomi dan budaya, mereka juga mengemban misi misionari, yang dimotori oleh kelompok Calvinis Puritan. Perlakuan diskriminatif tentara kulit putih (penjajah) versus pribumi, priyayi versus rakyat biasa, Kristen versus Islam, dan tekanan-tekanan terhadap pesantren yang terjadi di masa ini, akhirnya memaksa pesantren untuk pindah dari kota ke desa hingga dampak psikologis yang negatif pun tidak terhindarkan. Seperti munculnya kecenderungan inferior, inkonfiden, inklusif, fanatik dan lain sebagainya.
Menyikapi perlakuan diskriminatif dan kezhaliman ini, pesantren terus bertahan dan melawan dalam bentuk sikap non-kooperatif, ‘uzlah, bahkan perlawanan bersenjata atau jihâd fîsabîlillâh. Bisa dicatat di sini sebagai contoh perjuangan Pangeran Diponegoro di Jawa, pemberontakan umat Islam di Banten, perjuangan Paderi di Sumatera Barat dan Aceh. Karena peran inilah, maka konon menjelang kemerdekaan Republik Indonesia, Ki Hajar Dewantara pernah mengusulkan agar pendidikan pesantren dijadikan sistem pendidikan nasional.
Sebagai imbas dari dampak psikologis yang timbul dari hasil propaganda kolonial di atas, maka pada era pascakemerdekaan muncullah dikotomi yang sungguh ironis dan amat merugikan hubungan harmonis masyarakat Indonesia. Yaitu dikotomi kaum santri dan abangan. Peran pesantren pun diliputi pandangan sinis dan melecehkan, hingga tercuatlah upaya sistematis yang bertujuan melakukan kembali stigmatisasi Pesantren.
Dari hasil penilaian tidak adil ini maka lahirlah UU sistem pendidikan yang merugikan Pesantren. Mulai dari UU no. 4 tahun 1950, UU no. 14 PRPS tahun 1965, UU no. 19 PNPS, hingga UU SPN no. 2 tahun 1989. Kesemuanya tidak mencantumkan pengakuan formal terhadap pendidikan pesantren sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, dan menafikan jasa berabad-abad pesantren dalam pembentukan sistem pendidikan nasional.[xv]
Namun, kenyataan faktual saat ini justru tengah menunjukkan kian kuat, besar dan pentingnya peran Pesantren. Terbukti dengan makin menjamurnya kemunculan Pondok-pondok pesantren dengan berbagai corak, nama, sistem dan tingkatan pendidikan, bukan hanya di pedesaan tetapi juga di perkotaan. Minat para orang tua untuk mengirimkan putra-putrinya ke pesantren juga kian meningkat, termasuk di kalangan elit masyarakat.
Dari hasil pengamatan dan kajian, para pakar dan pemerhati pendidikan, keunggulan sistem pendidikan pesantren ini telah diakui. Produk pendidikan pesantren pun kini telah banyak bermunculan menjadi tokoh penting dalam berbagai sektor pembangunan, dan terbukti mampu memberi kontribusi sangat besar bagi bangsa. Ditambah lagi dengan adanya pengakuan persamaan (akreditasi) pendidikan pondok pesantren oleh dunia pendidikan luar negeri, dan jalinan kerjasama antara pondok pesantren dengan dunia internasional yang terus terjalin mulus. Hingga tak ayal jika banyak tokoh-tokoh internasional berminat menjadikan pesantren sebagai objek penelitian mereka, bersamaan dengan meningkatnya minat santri-santri mancanegara untuk belajar di pesantren.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar