Sabtu, 22 Oktober 2011

Pendiri Pesantren Pertama di Jawa Barat

Pendiri Pesantren Pertama di Jawa Barat
Syekh Hasanuddin
Menurut Babad Tanah Jawa, pesantren pertama di Jawa Barat adalah pesantren Quro
yang terletak di Tanjung Pura, Karawang. Pesantren ini didirikan oleh Syekh Hasanuddin,
seorang ulama dari Campa atau yang kini disebut Vietnam, pada tahun 1412 saka atau
1491 Masehi. Karena pesantrennya yang bernama Quro, Syekh Hasanuddin belakangan
dikenal dengan nama Syekh Quro.
Syekh Quro atau Syekh Hasanuddin adalah  putra Syekh Yusuf Sidik. Awalnya, Syekh
Hasanuddin datang ke Pulau Jawa sebagai utusan. Ia datang bersama rombongannya
dengan menumpang kapal yang dipimpin Laksamana Cheng Ho dalam perjalanannya
menuju Majapahit.
Dalam pelayarannya, suatu ketika armada  Cheng Ho tiba di daerah Tanjung Pura
Karawang. Sementara rombongan lain meneruskan perjalanan, Syekh Hasanuddin
beserta para pengiringnya turun di Karawang dan menetap di kota ini.
Di Karawang, Syekh Hasanuddin menikah dengan gadis setempat yang bernama Ratna
Sondari yang merupakan puteri Ki Gedeng Karawang. Di tempat inilah, Syekh
Hasanuddin kemudian membuka pesantren yang diberi nama Pesantren Quro yang
khusus mengajarkan Alquran. Inilah awal Syekh Hasanuddin digelari Syekh Quro atau
syekh yang mengajar Alquran.
Dari sekian banyak santrinya, ada beberapa nama besar yang ikut pesantrennya. Mereka
antara lain Putri Subang Larang, anak Ki Gedeng Tapa, penguasa kerajaan Singapura,
sebuah kota pelabuhan di sebelah utara Muarajati Cirebon. Puteri Subang Larang inilah
yang kemudian menikah dengan Prabu Siliwangi, penguasa kerajaan Sunda Pajajaran.
Kesuksesan Syekh Hasanuddin menyebarkan ajaran Islam adalah karena ia
menyampaikan ajaran Islam dengan penuh kedamaian, tanpa paksaan dan kekerasan.
Begitulah caranya mengajarkan Islam kepada masyarakat yang saat itu berada di bawah
kekuasaan raja Pajajaran yang didominasi ajaran Hindu.
Karena sifatnya yang damai inilah yang membuat Islam diminati oleh para penduduk
sekitar. Tanpa waktu lama, Islam berkembang pesat sehingga pada tahun 1416, Syekh
Hasanuddin kemudian mendirikan pesantren pertama di tempat ini.   2
Ditentang penguasa Pajajaran
Berdirinya pesantren ini menuai reaksi keras dari para resi. Hal ini tertulis dalam kitab
Sanghyang Sikshakanda Ng Kareksyan. Pesatnya perkembangan ajaran Islam membuat
para resi ketakutan agama mereka akan ditinggalkan.
Berita tentang aktivitas dakwah Syekh Quro di Tanjung Pura yang merupakan pelabuhan
Karawang rupanya didengar Prabu Angga Larang. Karena kekhawatiran yang sama
dengan para resi, ia pernah melarang Syekh Quro untuk berdakwah ketika sang syekh
mengunjungi pelabuhan Muara Jati di Cirebon.
Sebagai langkah antisipasi, Prabu Angga Larang kemudian mengirimkan utusan untuk
menutup pesantren ini. Utusan ini dipimpin oleh putera mahkotanya yang bernama
Raden Pamanah Rasa. Namun baru saja tiba ditempat tujuan, hati Raden Pamahan Rasa
terpesona oleh suara merdu pembacaan ayat-ayat suci Alquran yang dilantunkan Nyi
Subang Larang.
Putra mahkota yang setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran bergelar Prabu Siliwangi itu
dengan segera membatalkan niatnya untuk menutup pesantren tersebut. Ia justru
melamar Nyi Subang Larang yang cantik. Lamaran tersebut diterima oleh Nyi Santri
dengan syarat maskawinnya haruslah Bintang Saketi, yaitu simbol "tasbih" yang ada di
Mekah.
Pernikahan antara Raden Pamanah Rasa dengan Nyi Subang Karancang pun kemudian
dilakukan di Pesantren Quro atau yang saat ini menjadi Masjid Agung Karawang. Syekh
Quro bertindak sebagai penghulunya.
Menyebar santri untuk berdakwah
Tentangan pemerintah kerajaan Pajajaran membuat Syekh Quro mengurangi intensitas
pengajiannya. Ia lebih memperbanyak aktivitas ibadah seperti shalat berjamaah.
Sementara para santrinya yang berpengalaman kemudian ia perintahkan untuk
menyebarkan Islam ke berbagai kawasan lain. Salah satu daerah tujuan mereka adalah
Karawang bagian Selatan seperti Pangkalan lalu ke Karawang Utara di daerah Pulo
Kalapa dan sekitarnya.
Dalam penyebaran ajaran Islam ke daerah baru, Syekh Quro dan para pengikutnya
menerapkan cara yang unik. Antara lain sebelum berdakwah menyampaikan ajaran Islam,
mereka terlebih dahulu membangun Masjid.  Hal ini dilakukan Syekh Quro mengacu   3
pada langkah yang dicontohkan Rasulullah SAW ketika berhijrah dari Mekkah ke
Madinah. Saat itu beliau terlebih dahulu membangun Masjid Quba.
Cara lainnya, adalah dengan menyampaikan ajaran Islam melalui pendekatan dakwah bil
hikmah. Hal ini mengacu pada AlQuran surat An Nahl ayat 125, yang artinya: "Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik."
Sebelum memulai dakwahnya, Syekh Quro juga telah mempersiapkan kader-kadernya
dengan pemahaman yang baik soal masyarakat setempat. Ini dilakukan agara penyebaran
agamanya berjalan lancar dan dapat diterima oleh masyarakat. Hal inilah yang
melatarbelakangi kesuksesan dakwah Syekh  Quro yang sangat memperhatikan situasi
kondisi masyarakat serta sangat menghormati adat istiadat penduduk yang didatanginya.
Selama sisa hidup hingga akhirnya meninggal dunia, Syekh Quro bermukim di Karawang.
Ia dimakamkan di Desa Pulo Kalapa, Kecamatan Lemah Abang, Karawang. Tiap malam
Sabtu, makam ini dihadiri ribuan peziarah yang datang khusus untuk menghadiri acara
Sabtuan untuk mendoakan Syekh Quro.
Belakangan masjid yang dibangun oleh  Syekh Quro di pesantrennya, kemudian
direnovasi. Namun bentuk asli masjid -- berbentuk joglo beratap dua limasan,
m

Tidak ada komentar:

Posting Komentar