Sabtu, 10 Desember 2011

La Tansa dan Ide Pengembangan Sains

Hingga kini masih ada kalangan yang mempertanyakan kemampuan pesantren perihal sains modern dan teknologi. Mereka selalu beranggapan bahwa pesantren hanya disibukkan dengan kajian-kajian yang bersifat ukhrawi lantas menolak atau kurang familiar dengan ilmu-ilmu duniawi. Sekalipun ada kajian ke arah keduniawian, menurut mereka, masih terbatas pada tataran normatif belum aplikatif.
Singkatnya, dalam pikiran sebagian masyarkat, pesantren belum dapat berkecimpung pada bidang aplikasi sainstek yang dewasa ini telah menjadi parameter keberhasilan lembaga pendidikan. Kondisi di atas membawa lembaga pendidikan Islam seperti pesantren nyaris terkesampingkan dari dunia pendidikan nasional.
Secara umum, istilah ‘sains’ mencakup ilmu-ilmu modern baik dalam kategori humaniora yang membahas tentang kehidupan manusia (sosial), maupun kajian-kajian yang berhubungan dengan alam semesta (natural). Walaupun mencakup banyak bidang, tapi banyak juga kalangan yang mengidentikkan sains hanya pada kategori kedua. Ketika membicarakan kata “sains”, masyarakat akan mafhum bahwa Fisika, Matematika, Biologi, dan Kimia, misalnya, merupakan nomenklatur mata pelajaran yang tak bisa dipisahkan. Ini sudah jamak dipergunakan, hatta Balitbang Diknas dalam beberapa terbitannya menyebutkan “sains” sebagai sinonim dari “IPA”. Pada gilirannya cakupan “sains” mengerucut hanya pada ilmu-ilmu eksakta atau sering disebut ilmu pasti.
Sejak dua puluh tahun yang lalu (1990), Pondok Pesantren La Tansa telah berhasil atau setidaknya selalu berupaya menepis stigma negatif tersebut. Pesantren yang sekarang sudah dihuni oleh lebih dari dua ribu santri itu, dalam catatan sejarahnya, sengaja didirikan oleh almarhum KH. Ahmad Rifa’i Arif dengan semangat pengembangan sains ala pesantren. Ini bermakna bahwa pengembangan tersebut harus bermula dari kesadaran akan pentingnya nilai-nilai Islam sebagai landasan kemajuan saintek. Tidak berle-bihan kalau gagasan visioner beliau mampu melampaui jamannya di mana pola pendidikan pesantren kala itu, mayoritas, belum memberikan porsi maksimal pada pengembangan saintek di kalangan santri. Kendati demikian, La Tansa tetap berprin-sip “al-Muhafadzah a’la al-Qodim al-Shalih wa al-Akhdzu ‘ala al-Jadidi al-Ashlah”, selalu berusaha menjaga tradisi yang baik dan melakukan inovasi-inovasi yang lebih mashlahat. Makna mashlahat disini tidak bersifat eklektis-opportunis akan tetapi lebih pada upaya perbaikan dengan tetap mematuhi aturan main yang ada.
Menurut salah seorang ustadz 'senior' yang juga pernah aktif di sekretariat pesantren tahun 1994-an, Ust. Tamrin Hafidh Nawawi, pertama kali didirikan, La Tansa merupakan satu dari sangat sedikit lembaga pendidikan pesantren yang “berani” bergabung dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K sekarang DIKNAS) dengan menerapkan program SMP dan SMA. Berani bebeda karena hampir seluruh pesantren waktu itu mengafiliasikan institusinya kepada Depar-temen Agama yang memiliki program MTs dan MA. Menurut beliau, institusi madra-sah ketika itu belum menyediakan program pendidikan IPA.
Sebagaiman termaktub dalam visi dan misi pesantren, La Tansa melandaskan ijtihadnya pada ayat Al-Qur’an surah Al-Qashshash [28] ayat 77 yang memerintahkan setiap muslim berusaha meraih kebahagiaan, tidak saja di akhirat kelak, tapi kebahagiaan dunia sangat sah untuk diraih. Ayat tersebut pula yang telah menginspirasi Kiyai Rifa’i memberikan nama besar pesantren keduanya, “La Tansa” (wa la tansa nashibaka minad-dunya). Konsep ihsan fi ad-Darain (berkontribusi positif di dunia dan akhirat) yang tertuang dalam ayat tersebut melatarbelakangi akomodasi pesantren La Tansa terhadap segala kerja nyata di dunia, salah satunya mentadabburi kekayaan alam dengan sains dan teknologi yang diawali semangat “bismi robbik”.
Merespon Modernitas dengan Cerdas
Kata “modern” menunjukkan sebuah periode yang dalam sejarahnya mengacu kepada satu peradaban di luar Islam. Ia merupakan garis waktu (timeline) yang bermakna “kini dan kedisinian” yang lahir dari suatu pandangan hidup (worldview) Barat yang mensubordiasikan nilai-nilai spiritual yang kemudian disebut abad modern atau modernisme. Abad ini ditandai dengan kemajuan Barat di bidang sains dan teknologi yang pada perkembangannya dipasarkan ke belahan dunia lainnya yang memaket dengan proses globalisasi.
Mungkin ada kekhawatiran, jika pesantren La Tansa menyertakan disiplin ilmu bernuansa saintek maka nilai-nilai asasi yang mendasarinya akan tergerus dan bahkan mengalami disorientasi. Kekhawatiran ini kiranya perlu dan pada batas-batas tertentu menjadi penting sebagai kontrol atas adanya gerakan modernisasi pesantren-pesantren di Tanah Air. Begitupun dengan La Tansa, gerakan ke dalam yang dilakukannya ini merupakan respon atau jawaban terhadap dunia modern. Respon atau jawaban yang disertai kecerdasan memilih dan memilah agar tidak terjerumus pada problem taken for granted.
Sebagai representasi pendidikan yang mengusung ajaran Islam, La Tansa berperan untuk membuktikan bahwa Islam adalah agama yang, dengan tetap memperhatikan aspek al-Tsawabit dan al-Mutaghayyiraat, menuntut umatnya untuk melakukan perbaikan dengan perubahan dan pembaharuan (at-Tajdid). Penerimaanya atas kemajuan sains dan teknologi adalah bagian dari upaya modernisasi itu. Tujuan modernisasi yang dilakukan La Tansa bukan dalam pengertian sekularisasi atau liberalisasi sebagaimana perlakuan Barat terhadap masyarakatnya.
Modernisasi yang digagas Kiyai Rifai pada La Tansa bukan pada aspek kejiawaannya (ruh) akan tetapi pada aspek lainnya yang bersifat fisik dan ijtihadi. Jiwa pendidikan pesantren adalah tetap. Jiwa ini tidak akan goyah sedikitpun oleh terpaan modernisasi. Ruh pesantren yang secara istiqomah memegang teguh prinsip-prinsip ushuli dan komitmennya pada Ad-Dakwah Al-Islamiyyah dan i’lau kalimatillah dengan semangat Al-Ukhuwah Al-Islamiyyah. Jiwa atau ruh pesantren terangkum dalam Panca Jiwa Pondok (Lima jiwa pondok); Keikhlashan, Kesederhana-an, Berdikari, Ukhuwah Islamiyyah, dan Kebebasan. Sementara fisik pesantren dalam hal aspek pengajaran yang bersifat transformatif harus mampu melakukan kontekstualisasi, salahsatunya, dengan perkembangan dunia sains (ilmu penge-tahuan) dan teknologi. Prinsip yang men-jadi reason d’etre modernisasi pesantren La Tansa ala Kiyai Rifa’i.
Ide Kiyai Rifa’i terkait modernisasi, sebagaimana tertuang dalam visi dan misi La Tansa, adalah usaha mempersiapkan sumber daya manusia muslim yang memi-liki ilmu pengetahuan yang tauhidik tidak dikotomik antara duniawi dan ukhrawi serta mampu mengimplementasikannya dalam kehidupan yang ihsan fi ad-darain.
Penjabarannya ada pada misinya yang sinergis; Pertama, mempersiapkan kader-kader muslim masa depan yang menguasai iptek, memiliki daya juang yang tinggi, mampu berkreasi secara inovatif, aktif dan dinamis di atas landasan iman dan taqwa yang kuat. Kedua, mengombinasikan kurikulum Pondok Modern dengan kurikulum Pendidikan Nasional dalam rangka menghilangkan kesan dikotomis antara ilmu pengetahuan umum dan agama.
Ketiga, Memperluas medan juang santri meliputi seluruh aspek kehidupan dengan bekal iman sebagai landasan keyakinan, pandangan dan sikap hidup yang haq. Keempat, meningkatkan kemampuan professional dan pengetahuan tenaga kepen-didikan sesuai dengan kebutuhan dunia pendidikan dan tuntutan dinamika kehidu-pan masyarakat.
Mengubah Paradigma dengan “La Tansa”
Konsep perubahan dalam Islam adalah ikhtiar dan ijtihad. Manusia sebagai khalifah fil-ardl diberikan kuasa oleh Allah untuk “bebas” melakukannya. Perubahan di sini bukan tanpa proses pemikiran yang panjang dan berliku. Bila perlu melewati berbagai rintangan dan cobaan. Etika perubahan dalam Islam meniscayakan adanya kepatuhan terhadap nilai-nilai fundamental dalam Islam yang tertuang dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta tetap memper-hatikan ijtihad-ijtihad ulama turats. Jumud, kaku, dan ketidak-percayadirian bukanlah sifat seorang muslim. Ia senantiasa bergerak dan berubah dari suatu keadaan kepada suasana yang lain dan tentu menuju kelebihbaikan. ‘Baik’ berlandaskan pada hasil dari proses dan usaha pendalaman atas pesan-pesan Allah swt dan siratan suci Rasul-Nya.
Kiyai Rifa’i adalah tokoh besar yang berani melakukan upaya perubahan itu. Beliau mencoba keluar dari “pasung-pasung” tradisi yang memperlambat dinamika umat. Sebagai mujaddid, Kiyai Rifa’i tidak betah dengan suasana pesantren yang berhenti pada urusan-urusan asketis. Bagi beliau kewajiban mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama (ulumuddin) tidak berarti mengharamkan atau menolak ilmu-ilmu non-agama yang berkait-an dengan kehidupan duniawi. Justru, seharusnya, ulumud-din memberikan penyadaran kepada umat bahwa bumi ini adalah amanat yang harus dipelajari dan dipelihara dari kerusakan dan kebinasaan. Untuk melakukannya tidak lain adalah, salah satunya, dengan menguasai sains dan teknologi.
La Tansa dengan keunggulan dan sagala keterbatasannya merupakan buah dari hasil kerja keras sang mujaddid Rifa’i. Keterbatasan itu tidak membuatnya urung untuk melangkah maju. La Tansa hadir di tengah komunitas pesantren dengan visi perubahan paradigma. Mengubah paradigma yang melarutkan warna rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil-alamin). Kiyai Rifa’I melalui La Tansa  ingin melahirkan dokter yang santri, arsitek yang santri, pebisnis yang santri, guru yang santri, teknokrat yang santri, dan apapun asal tidak melupakan jati kesantriannya. Semasa hidupnya, beliau selalu menasehati santri-santrinya dengan perintah “sal dlomiroka” (“tanya hatimu, siapa kamu?”). Pertanyaan reflektif ini memperingatkan murid-muridnya bahwa apapun profesi mereka di masyarakat adalah urusan fisik, tapi jiwanya adalah santri.
Menerapkan Kurikulum Tauhidik
Seperti pada instansi-instansi pendidikan formal secara umum, kurikulum di pesantren merupakan salah satu unsur yang paling vital selain lingkungan, SDM, sarana dan prasarana dan yang lainnya. Ia berperan sebagai software dari hardware berupa bangunan fisik. Kurikulum tidak saja sekadar penjadwalan, tapi lebih dari itu, kurikulum adalah tolok ukur keberhasilan dan kualitas hasil pendidikan. Kendati pesantren, dalam sejarahnya, tidak mengenal kurikulum, sistem dan mekani-sme kurikulumnya pada masa pra-kemerdekaan masih sentralistis, bergan-tung kepada kebijakan seorang Kiyai atau pemimpin pesantren. La Tansa dan umumnya seluruh pesantren di tanah air saat ini telah menyadari pentingnya kuriku-lum yang konseptual dan menyistem.
Namun ada satu hal yang, mungkin, sedikit membedakan La Tansa dengan pesantren-pesantren lainnya. Berdasarkan pada landasan folosofis “wa La Tansa nashibaka minad-dunya” (QS. Al-Qashshash [28]: 77), La Tansa berupaya sedapat mungkin mengaktualisasikannya dalam bentuk, konsep, dan disain kurikulum yang tauhidik (penyatuan) tidak dikotomik (pemisahan). Tauhidik dalam pengertian pandangan La Tansa terhadap realitas hidup yang berorientasi pada kesuksesan santri, tidak saja, di kehidupan akhirat tapi juga di dunia. Dari sini style kurikulum La Tansa terbentuk dan berjalan hatta sekarang.
Dari cara pandang tersebut, lahirlah kurikulum yang menjadikan nilai-nilai luhur Islam sebagai lahan luas yang tumbuh di atasnya berbagai ilmu termasuk di dalamnya saintek. Pada gilirannya, sains di pesantren memiliki ciri tersendiri yakni syarat dengan nilai-nilai spiritual. Ini penting dilakukan mengingat sains sejak abad 17 silam mengalamai tragedi penceraian dengan agama yang ditandai dengan Revolusi Ilmiah di dunia Barat.
Ingin Melahirkan Santri Teknokrat
Ada catatan sejarah pendirian La Tansa yang tidak banyak diketahui. Catatan itu adalah cita-cita Kiai Rifa’i ketika hendak mendirikan La Tansa, pesantren kedua yang dirintisnya setelah Daar El Qolam. Beliau selalu menyampaikan visi besaranya ini di setiap pertemuan bersama para santri di Daar el Qolam Tangerang. Bahwa beliau ingin sekali santri-santrinya mampu berhadapan dengan tantangan dunia yang serba modern tanpa harus kehilangan identitas, salahsatunya adalah dengan menjadi santri teknokrat. Untuk mendukung visinya tersebut Kiyai Rifa’I tidak segan-segan menyampaikan gagasannya mendirikan pesantren sebagai pengembangan dari pesantren Daar El Qolam dengan karakter yang khas.
Perkataan beliau seputar rencana pendirian pesantren ini, menurut alumni Daar el Qolam, Ust. Tamrin, sangat sering disampaikan sekitar tahun 1982-an, kurang lebih tujuh tahun sebelum pembangunan pondok pesanten La Tansa dimulai. Secara historis, bisa disimpulkan, alasan mendasar pendirian La Tansa adalah keinginan besar Kiyai Rifa’i untuk menebar santri-santrinya dengan membawa misi perbaikan dengan melakukan internalisasi nilai-nilai islami  ke setiap lini kehidupan.
Penting juga diketahui bahwa berdirinya Pondok Pesantren La Tansa selain atas jasa besar almarhum Kiyai Rifa’i, ada beberapa tokoh terkemuka yang serta memberikan inspirasi dan juga dukungan atas niat besar Kiyai Rifa’i membangun La Tansa. Mereka adalah KH. Kholil Ridwan yang ketika itu menjadi sahabat dekat Kiyai Rifa’I, sekarang duduk di jajaran kepemimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat  dan mantan presiden RI ketiga, BJ. Habibi, yang kala itu menjadi tokoh sentral Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BBPT) dan Menteri Riset dan Teknologi masa pemerintahan rejim orde baru. Kepedulian terhadap problematika umat sepertinya menjadi muara pertemuan antara mereka menuju samudra kedigdayaan peradaban Islam.
Dengan KH. Kholil Ridwan, Kiyai Rifa’i mendiskusikan segala hal berkaitan dengan masa depan pendidikan pesantren. Meskipun, menurut putra kedua Kiyai Rifa’i yang sekarang pemimpin La Tansa, KH. Adrian Mafatihullah Karim, terdapat sedikit perbedaan ihwal penerapan sistem SMP dan SMA di pesantren, kedua alumni Gontor ini sepakat bahwa peran pendidikan pesantren menjadi elan vital kemajuan umat. Adapun kedekatan visi Kiyai Rifa’i yang pernah menjabat ORSAT ICMI kabupaten Lebak dengan ikon teknologi Indonesia, BJ Habibi, menjadi pemicu baginya untuk mengembangkan sains dan  teknologi di dunia pesantren. Merekapun sepakat bahwa salah satu alasan lesunya umat Islam dewasa ini adalah dalam bidang sains dan teknologi.
Tidak Berhenti Sampai Disini
Islam menyeru umatnya untuk selalu bermuhasabah, introspeksi dan evaluasi diri. Setiap kekurangan pada masa yang berlalu hendaknya diperbaiki. Dalam hal kebaikan, umat tidak boleh berhenti pada satu titik kemudian puas dengan yang ada. Sikap qona’ah bukan untuk menghentikan dinamika hidup menuju hakikat kebahagiaan.
Kesadaran akan segala keterbatasan dan kekurangan telah membuat La Tansa tak henti-hentinya melakukan seperangkat inovasi dan revitalisasi program. Program pengembangan saintek di La Tansa yang digagas oleh pendiri, almarhum KH. Ahmad Rifa’i Arif, tentu masih jauh dari kata sukses. Sudah menjadi tanggungjawab penerusnya untuk melanjutkan serta merta melakukan peningkatan pada prog-ram-program yang lain. Sejarah jihad dan kerja keras Kiyai Rifa’i membangun La Tansa telah memberikan nutrisi penyema-ngat bagi para asatidz dan seluruh santri untuk terus bergerak ke arah yang lebih baik.
Keterliban La Tansa dalam setiap even-even olimpiade sains, Pesta Sains IPB Bogor, Chemistry Funs Day (CFD) Univesitas Padjadjaran (UNPAD BAN-DUNG), dan Chemistry Creative Cont-est (C3) dalam rangka Expo Kimia Univer-sitas Pendidikan Indonesia (UPI BANDUNG) dan kompetisi yang sifatnya lokal adalah dalam rangka menguji “ketangguhan” sekaligus evaluasi dan standarisasi kualitas sains dan teknologi di La Tansa.
Selain itu, program study tour santri ke instansi-instansi penting seperti Badan Teknologi Atom Nasional (BATAN) Bandung, Lembaga Pengembangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Bogor, Badan Penelitian Tanaman Sayur (BALITSA) Lembang dan tempat lainnya merupakan bagian dari usaha menghindari kemandeg-an ide pengembangan saintek dan tetap menjaga prinsip kontinyuitas. Wallahu a'lam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar