Entah kapan berdirinya pondok pesantren salafi giribangun sawahluhur di banten ini ada, namun menurut penurutan salah satu pengasuh ponpes, sekitar tahun 1990 ponpes ini sudah ada, dan menjadi rujukan atas santri-santrinya yang berasal dari luar banten, jumlah santrinya tidak kurang dari angka 21 (duapuluh satu) orang saja, dan semuanya adalah laki-laki, mereka ada yang berasal dai jawa timur, jawa tengah, cirebon, bahkan dari luar pulau jawa, biasanya seuisai menempuh pembekalan dari ponpes salafi ini, mereka kemudian mendirikan ponpes-ponpes salafi lainnya di daerah mereka masing-masing, yang menarik dari popes ini menggunakan pola tanah perdikan, dimana pada waktu sunan giri mendirikan perdikan, disitulah berdiri sekaligus pesantren, yakni melalui metode belajar malam hari, dan dari pagi, siang dan sore hari mereka berkebun, bertani, dan menanam palawija serta mencetak sawah, dengan menanam padi, dari hasil tanaman tersebut, mereka jual ke sekitar masyarakat sekitarnya, ada terong, kacang panjang, kacang tanah, kangkung, bayam, namun yang utama adalah padi, dari luas skitar 1200 ha, semuanya ditangani oleh para santri dan masyarakat sekitar mengikuti pola yang dijalankan oleh ponpes salafi ini, dan barulah pada malam hari mereka membaca quran, buka hadist, membaca kitab kuning yang berkiblat ke sech nawawi al bantani, seorang sech tersohor pada waktu itu.
Inilah bentuk bangunan ponpes salafi giribangun sawahluhur, menurut al ustad lukman, salah satu pengasuh ponpes mengatakan bahwa, selama ini ponpesnya belum pernah menerima bantuan dari pemerintah, maupun dari pihak ketiga lainnya, mereka berdikari, menghidupi kehidupannya melalui pola pemberdayaan santri sebagai santri sekaligus petani, sehingga pola pengajaran pada ponpes ini mirip sekali dengan apa yang telah ada pada waktu jaman wali songo, mereka belajar dimalam hari, dan bekerja di pagi hingga sore hari, dengan pola semacam ini, terjadi pembagian waktu yang tepat, dimana hidup kita ini diberi oleh Allah swt, 24 jam, dibagi 3, pertama waktu untuk beribadah kepada Allah swt, kedua waktu untuk ubudiyah (bekerja), dan ketiga waktu untuk tidur, (istirahat). siklus kehidupan itulah yang selama ini dilakoni oleh para santri ponpes salafi tersebut, sehingga akan diperoleh ilmu, manfaat, dan arti serta makna kehidupan dan penghidupan manusia ini di dunia, adalah untuk bekal di akhirat kelak, seperti apa yang telah dialami ponpes salafi jaman dahulu kala, adalah bersandar pada pelajaran kitab, alquranul karim, al hadist, dan kitab kuning, merupakan pengejawantahan keduanya, atau istilahnya disebut ijma dan qiyas, yang menjadi bahan rujukan sebagai syariah, atau syuro, pada waktu penyebaran agama islam pertama kali di nusantara ini, baik sebelum kedatangan para walisongo, maupun sesudahnya.
Namun seiring dengan perkembangan jaman, ponpes salafi di nusantara ini termasuk yang ada di banten, mulai termarjinalkan dengan konsep ponpes modern, yang berpola kepada modern education dan old fashioned folk ways, tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi ponpes salafi yang masih menganut kepada kehidupan ponpes zaman dahulu, masih eksis adalah kebanggan tersendiri bagi mereka yang masih mempertahankan nilai-nilai moral, nilai-nilai agamis, dan nilai-nilai budaya tak lentur dengan perubahan zaman sekarang, justru merekalah akhirnya yang akan menjadi satu-satunya benteng moral bangsa ini yang sudah lama tergerus dengan peradaban modern (modern civilization), akhirnya semuanya kita pulangkan ke pada masing-masing individu kita, apakah kita menjadi pengekor atau pelopor benteng moral yang berbasiskan pada sendi-sendiri kepercayaan dan keyakinan kita kepada Sang Pencipta?, tentu saja ini tidak perlu dijawab, karena sudah masuk ke ranah hak-hak dasar manusia (human rights), sungguhpun demikian, sangat bijaklah apabila kita meneropongnya melalui bathiniyah kita masing-masing, agar ponpes salafi ini dapat dijadikan sebagai salah satu benteng moral (moral forces) bangsa ini, artinya kita budayakan rasa malu, budaya tahu diri, budaya santun, merupakan terjemahan perilaku manusia seutuhnya, namun semuanya pun harus bersandar pada immaterialistik, sehingga manusia sebagai makhluk sosial tidak saja bersosialisasi dengan sesamanya namun juga sesama makhluk hidup lainnya, maka akan terciptalah keseimbangan alam yang baik dan benar, inilah yang kita harapkan dari kehidupan manusia di dunia ini tak lain adalah sebagai khalifatul fil ard (menjadi pemimpin di bumi ini) dalam arti luas, andaikata kita dipilih sebagai pemimpin bangsa jadilah pemimpin bangsa yang baik, begitu juga dalam kapasita mikro, apabila kita menjadi pemimpin keluarga, jadilah pemimpin keluarga yang baik pula, dan seterusnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar