Inilah Cinta (Jalaluddin Rumi)
Inilah cinta, membumbung ke langit
Setiap saat mengoyak seratus cadar
Mula-mula, mengingkari hidup
Akhirnya, melangkah tanpa kaki
Menganggap dunia ini tak tampak
Sepi semua yang muncul di benak
”O, jiwa,” kataku, ”Semoga kau berbahagia
Memasuki negeri orang-orang tercinta
Memandang daerah yang tak tercapai mata
Menyusup ke dalam lekuk liku dada!
Dari mana datangnya nafas ini, o jiwa
Dari mana pula asal denyut jantung, o hati?
Burung, bicaralah dengan bahasa burung
Kutahu artinya yang terselubung
Jiwaku pun menyahut, ”Aku berada di pabrik
Yang sedang mengolah air dan tanah liat
Aku pun melepaskan diri dari sana
Ketika sedang diciptakan
Waktu tak kuat lagi aku bertahan, mereke menyeretku
Dan menuangku
Sehingga bagaikan bola bentukku.”
D o a Amir Hamzah
Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik
setelah menghalaukan panas payah terik
Angin malam menghembus lemah, menyejuk badan, melambung
rasa menayang pikir, membawa angin ke bawah kursimu
Hatiku terang menerima katamu, bagaikan bintang memasang lilinnya
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap malam menyirak kelopak
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahaya,
biar bersinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu
Padamu Jua (Amir Hamzah)
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu
Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu lupa
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik angin
Serupa dara di balik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu – bukan giliranku
Mati hari – bukan kawanku…
Amir Hamzah
Penyair Melayu Kemala
kutatang cinta
anak melayu
nestapa bergulung air mata
wajah merajahi diri
di jalan kembali
Tanjung Pura kota sepi
Makan dan Masjid Azizi
hanya tatap doa menuntun
dan mantap bunga santun
sebelum senja di Tanjung Pura
Amir dan Kemala bertukar Seloka
Antara kasih dan maut
cakaran hanya memagut
Walau (Sutardji Calzoum Bachri)
1979
walau penyair besar
takkan sampai sebatas allah
dulu pernah kuminta tuhan
dalam diri
sekarang tak
kalau mati
mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat
jiwa membumbung dalam baris sajak
tujuh puncak membilang bilang
nyeri hari mengucap ucap
di butir pasir kutulis rindu-rindu
Walau huruf habislah sudah
Alifbataku belum sebatas allah
Ibunda (WS Rendra)
Engkau adalah bumi, Mama
aku adalah angin yang kembara
Engkau adalah kesuburan
atau restu atau kerbau bantaian.
Kuciumi wajahmu wangi kopi
dan juga kuinjaki sambil pergi
kerna wajah bunda adalah bumi
Cinta dan korban tak bisa dibagi.
AKAN KE MANAKAH ANGIN (Emha Ainun Nadjib)
Akan ke manakah angin
Tatkala turun senja yang muram
Kepada siapa lagu kuangankan
Kelam dalam kabut, rindu tertahan
Datanglah engkau berbaring di sisiku
Turun dan berbisik dekat di batinku
Belenggulah s’luruh tubuh dan sukmaku
Kuingin menjerit dalam pelukanmu
Sampai manakah berarak awan
Bagi siapa mata kupejamkan
Pecah bulan dalam ombak lautan
Dahan-dahan di hati bergetaran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar